OPINI | TD – Kuota perempuan di DPR menjadi simbol penting dalam wacana kesetaraan gender dan partisipasi politik perempuan di Indonesia. Dalam esainya “Can the Subaltern Speak?”, Gayatri Spivak mempertanyakan apakah kelompok yang terpinggirkan benar-benar dapat menyuarakan kepentingannya dalam sistem kekuasaan yang tidak berpihak. Pertanyaan itu menjadi sangat relevan ketika kita melihat bagaimana kebijakan afirmatif ini dijalankan. Apakah benar benar memberi ruang kuasa bagi perempuan untuk menentukan arah kebijakan, atau hanya berfungsi sebagai simbol demokrasi semu?
Perempuan memimpin aksi protes sebagai simbol perjuangan keterwakilan politik dan suara perempuan dalam sistem demokrasi. (Foto: Freepik)
Menurut data resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), keterwakilan perempuan di DPR RI hasil Pemilu 2024 hanya mencapai 20,5%, jauh dari target kuota 30% yang diamanatkan dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Ini menunjukkan adanya celah besar antara regulasi dan realitas politik.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kuota sering kali hanya berfungsi sebagai simbol belaka. Perempuan memang ada dalam daftar, tapi dalam kenyataannya belum benar-benar mendapat ruang untuk bersuara. Mereka hadir, tetapi tidak berkuasa. Teori subaltern dari Spivak menjadi sangat terlihat nyata dalam situasi ini, kelompok yang secara struktural tersingkirkan bahkan ketika mereka seolah mendapat tempat. Ketika perempuan berhasil masuk ke parlemen tetapi tak mampu menembus dominasi budaya politik yang maskulin dan hierarkis, mereka hanya menjadi pengisi ruang, bukan pengubah arah.
Dalam kerangka pemikiran feminisme, Simone de Beauvoir pernah menyebut perempuan sebagai “yang lain” bukan subjek utama dalam struktur sosial-politik, melainkan pelengkap dari kekuasaan laki-laki. Dalam feminisme liberal seperti dalam pemikiran Betty Friedan, representasi yang bermakna hanya bisa tercapai jika perempuan menerima akses, dukungan, dan peluang yang setara untuk tampil dan memimpin. Ini bukan semata-mata soal kuantitas kehadiran, tetapi tentang kualitas pengaruh dan peran.
Beberapa tokoh perempuan seperti Puan Maharani memang menduduki posisi strategis sebagai Ketua DPR. Namun, keberadaannya sering kali tidak mewakili perjuangan perempuan akar rumput. Banyak pengamat menilai bahwa elite politik perempuan masih berasal dari lingkaran kekuasaan lama—keluarga politisi, pengusaha, atau figur publik terkenal. Sementara aktivis atau tokoh perempuan dari daerah dan kelas bawah nyaris tak memiliki akses ke struktur pencalonan partai.
Perempuan membawa nilai yang khas dalam kepemimpinan politik. Pendekatan mereka kerap mengedepankan empati, relasi sosial, dan kepedulian terhadap kelompok rentan. Pendekatan ini tercermin dalam gagasan ethics of care yang merupakan hasil pemikiran Carol Gilligan. Dalam masyarakat yang majemuk dan penuh ketimpangan, model kepemimpinan seperti ini semestinya menjadi kekuatan strategis. Sayangnya, sistem politik yang maskulin dan transaksional kerap menyingkirkan nilai-nilai tersebut. Alhasil, kebijakan publik yang lahir pun cenderung abai terhadap kebutuhan perempuan, anak-anak, dan masyarakat akar rumput.
Peluang politik bagi perempuan tidak terbuka secara merata. Banyak anggota DPR perempuan berasal dari kalangan elite, sementara perempuan dari komunitas minoritas, daerah tertinggal, dan masyarakat adat tetap sulit masuk. Demokrasi pun menjadi eksklusif bukan hanya dari sisi gender, tetapi juga dari sisi kelas. Seperti ucapan akademisi politik Dr. Dewi Candraningrum, “Representasi perempuan tidak akan bermakna jika partisipasi politik masih bersifat kosmetik dan tidak menyentuh akar ketimpangan struktural.”
Untuk menghindari jebakan simbolisme semata, perlu terobosan kebijakan yang menyasar akar masalah representasi. Jika kuota terus diperlakukan sebagai kewajiban administratif tanpa penguatan sistem pendukung yang memadai, maka representasi perempuan akan tetap rapuh dan tidak berdampak.
Beberapa langkah konkret yang dapat diambil:
KPU juga perlu menetapkan sanksi tegas bagi partai politik yang melanggar prinsip afirmatif bukan hanya dalam proses pencalonan, tetapi juga dalam strategi politik internal mereka. Selain itu, pengawasan oleh masyarakat sipil dan media independen harus menjadi lebih kuat agar prinsip keadilan representatif tidak berhenti di atas kertas.
Demokrasi tidak hanya tentang siapa yang memiliki suara terbanyak, tetapi tentang siapa yang menerima kesempatan untuk berbicara dan menentukan arah. Kuota 30 persen hanya akan bermakna jika benar-benar membuka jalan bagi suara perempuan untuk didengar dan memimpin. Jika perempuan hanya hadir di atas kertas tanpa kuasa untuk menentukan arah kebijakan, maka representasi itu tak lebih dari ilusi. Dan jika demokrasi hanya memberi ruang, tetapi tidak suara, untuk siapa sebenarnya demokrasi ini menjadi tegak?
Penulis: Reisya Ayudia Putri, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Editor: Patricia