Krisis Pangan di Palestina: Dampak Genosida terhadap Ketahanan Pangan Rumah Tangga

waktu baca 5 minutes
Minggu, 16 Nov 2025 19:06 0 Nazwa

OPINI | TD — Krisis pangan yang melanda Palestina, terutama Jalur Gaza, telah mencapai titik paling mengkhawatirkan dalam sejarah modern. Sejak Oktober 2023, serangan dan blokade yang dilakukan Israel bukan hanya merenggut ribuan nyawa, tetapi juga menghancurkan fondasi ketahanan pangan masyarakat. Infrastruktur diruntuhkan, akses logistik diputus, dan bantuan kemanusiaan dibatasi secara sistematis. Dampaknya, menurut laporan World Food Programme (WFP), seluruh masyarakat Gaza kini berada dalam kondisi krisis pangan serius, bahkan sebagian besar sudah memasuki kategori darurat dan kelaparan total (IPC fase 4–5).

Data ini bukan sekadar angka. Hasil penelitian Faris et al. (2025) mengungkapkan bahwa 98% rumah tangga di Gaza mengalami masalah pangan ekstrem. Rata-rata berat badan penduduk menurun drastis, banyak keluarga kehilangan rumah, dan hampir semua sumber penghidupan runtuh akibat serangan udara. Situasi ini memperlihatkan bahwa runtuhnya ketahanan pangan bukanlah konsekuensi tak terhindarkan dari perang, melainkan akibat langsung dari strategi yang menghancurkan akses terhadap pangan, lahan pertanian, listrik, air, serta logistik dasar.

Lebih jauh, kondisi ini bukan peristiwa baru. Sejak blokade dimulai pada 2007, Gaza sudah sangat bergantung pada bantuan internasional, khususnya dari UNRWA. Namun pasca 7 Oktober 2023, blokade diperketat hingga Israel menutup akses bahan bakar, obat-obatan, dan makanan—tindakan yang jelas melanggar Konvensi Jenewa 1949 yang menjamin hak atas pangan bagi warga sipil dalam situasi konflik.

Kelaparan sebagai Strategi: Pelanggaran HAM dan Hukum Humaniter

Krisis pangan di Gaza tidak dapat hanya dipahami sebagai dampak konflik, melainkan sebagai bentuk kekerasan struktural. Dengan memutus pasokan air, listrik, dan pangan, pemerintah Israel secara sadar menempatkan masyarakat sipil pada ancaman kelaparan massal. Bahour et al. (2025) menegaskan bahwa seluruh penduduk Gaza kini menghadapi kondisi rawan pangan ekstrem, yang sebagian besar telah memasuki fase darurat.

Penggunaan kelaparan sebagai instrumen perang merupakan pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional. Konvensi Jenewa 1949 melarang tindakan yang menempatkan warga sipil dalam kondisi kelaparan sebagai metode perang. Namun, lemahnya penegakan hukum global membuat kejahatan semacam ini terus berlangsung. Karena itu, desakan internasional terhadap International Court of Justice (ICJ) dan International Criminal Court (ICC) menjadi penting agar aktor-aktor yang bertanggung jawab dapat diadili.

Keruntuhan Ekonomi dan Sosial: Ketahanan Pangan Rumah Tangga Hancur Total

Konflik yang berkepanjangan tidak hanya menghancurkan infrastruktur pangan, tetapi juga menutup peluang ekonomi masyarakat. Ribuan keluarga yang semula bekerja sebagai petani, nelayan, atau pedagang kini kehilangan sumber pendapatan. Faris et al. (2025) mencatat bahwa hampir semua rumah tangga di Gaza kehilangan sumber utama pangan, sehingga harga bahan pokok melambung sementara akses ekonomi mereka terhenti total.

Dalam kondisi demikian, bantuan jangka pendek tidak cukup. Dibutuhkan strategi pemulihan jangka panjang melalui:

  • Rehabilitasi lahan pertanian,
  • Penyediaan bahan bakar dan fasilitas produksi,
  • Pemberdayaan petani dan keluarga rentan,
  • Penguatan ekonomi lokal berbasis komunitas.

Tanpa langkah-langkah ini, Gaza akan tetap terjebak dalam siklus ketergantungan bantuan, yang sewaktu-waktu dapat diputus oleh pihak yang berkonflik.

Ketergantungan pada Bantuan Internasional dan Keruntuhan Sistem Pangan

Sebelum konflik 2023, sekitar 75% warga Gaza sudah bergantung pada bantuan pangan UNRWA (Hassoun et al., 2025). Setelah 7 Oktober, akses bantuan hampir sepenuhnya dihentikan. Ini membuat masyarakat kehilangan kendali atas sistem pangan mereka sendiri.

Untuk membangun ketahanan pangan yang berkelanjutan, Gaza membutuhkan:

  • Dukungan internasional untuk rekonstruksi pertanian,
  • Pengembangan produksi pangan skala rumah tangga,
  • Teknologi pengolahan air,
  • Kebijakan distribusi makanan yang adil dan tahan blokade.

Tanpa upaya struktural ini, Gaza tidak akan pernah bisa mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan dasar.

Perspektif Hukum dan Kemanusiaan: Saatnya Dunia Bertindak

ICJ telah menyatakan bahwa serangan terhadap sistem pangan Gaza termasuk kategori tindakan yang berpotensi merupakan genosida (Faris et al., 2025). Namun sanksi internasional masih lemah dan tidak sebanding dengan skala pelanggaran yang terjadi.

Demi mencegah kelaparan lebih luas, lembaga-lembaga kemanusiaan seperti WFP dan UNRWA perlu diberi akses penuh tanpa hambatan politik. Selain itu, negara-negara anggota PBB harus menggunakan instrumen hukum internasional secara tegas untuk menekan pihak yang bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan ini.

Dampak Jangka Panjang: Gizi Buruk, Stunting, dan Hilangnya Masa Depan

Krisis ini tidak hanya menciptakan kelaparan massal dalam jangka pendek, tetapi juga memunculkan dampak kesehatan jangka panjang, seperti:

  • Stunting pada anak,
  • Penurunan kualitas hidup,
  • Meningkatnya kematian akibat gizi buruk,
  • Rusaknya generasi muda.

Hassoun et al. (2025) menegaskan bahwa target Sustainable Development Goals poinZero Hunger” telah mundur puluhan tahun di Gaza akibat kerusakan sistem pangan.

Pemulihan harus dimulai dari:

  • Pembukaan jalur kemanusiaan yang aman dan permanen,
  • Pembangunan kembali pertanian berkelanjutan,
  • Pemberdayaan ekonomi perempuan sebagai penjaga ketahanan pangan keluarga.

Penutup: Krisis Pangan Gaza adalah Ujian Moral bagi Dunia Internasional

Krisis pangan di Palestina bukan sekadar kekurangan makanan—ini adalah cermin penderitaan manusia di bawah pelanggaran HAM yang sistematis dan berkepanjangan. Dunia internasional tidak boleh hanya menjadi saksi. Pembukaan jalur bantuan kemanusiaan, penegakan hukum internasional, dan rekonstruksi sistem pangan berkelanjutan harus menjadi prioritas global.

Dengan komitmen politik dan kemanusiaan yang kuat, Gaza bukan hanya dapat kembali pulih, tetapi juga dapat membangun masa depan di mana hak dasar atas pangan, martabat, dan kehidupan yang aman benar-benar terjamin. Krisis ini adalah ujian moral bagi dunia—dan sejarah akan mencatat siapa yang diam dan siapa yang bertindak.

Penulis: Namira Dara Soliha
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

LAINNYA