OPINI | TD — Peringatan Hari Tani Nasional, 24 September 2025, kembali menjadi momentum refleksi tentang nasib petani dan arah politik pangan di Indonesia. Di tengah gegap gempita perayaan, ribuan petani, nelayan, dan mahasiswa turun ke jalan, menyuarakan keresahan mereka di depan Gedung DPR dan kawasan Monas, Jakarta. Aksi itu bukan sekadar ritual tahunan, melainkan panggilan nurani atas realitas yang semakin menyakitkan: petani sebagai penopang utama pangan nasional justru hidup dalam ketidakpastian.
Harga pupuk terus melonjak, biaya produksi meningkat, sementara harga gabah di tingkat petani tetap rendah. Ironinya, harga beras di pasaran justru naik, membebani masyarakat luas. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa politik pangan di Indonesia belum berpihak kepada keadilan sosial. Negara tampak lebih fokus menjaga stabilitas angka dan citra ketahanan pangan, ketimbang memperjuangkan kesejahteraan mereka yang setiap hari bekerja di sawah dan ladang.
Salah satu akar persoalan pangan nasional adalah alih fungsi lahan pertanian. Lahan subur yang dulu menjadi tumpuan produksi kini banyak berubah menjadi kawasan industri, perumahan, dan proyek infrastruktur. Petani kehilangan lahan, sementara biaya sewa meningkat tajam. Mahalnya pupuk dan sulitnya akses terhadap subsidi menambah berat beban mereka.
Dalam aksi peringatan Hari Tani, sejumlah massa melakukan teatrikal: lesehan di area Monas, membentangkan tikar, dan menebar karung beras sebagai simbol perjuangan. Gambar itu sederhana, tapi kuat: petani yang hidup bersahaja, namun tetap teguh memperjuangkan hak atas tanah, harga, dan kehidupan yang layak. Mereka menolak menjadi objek kebijakan yang hanya dijadikan alat pencitraan politik.
Di balik segala janji dan jargon “kedaulatan pangan”, Indonesia sesungguhnya masih berada dalam ketergantungan struktural terhadap impor. Setiap kali harga pangan melonjak, solusi yang dipilih pemerintah cenderung instan: impor beras, impor kedelai, impor jagung. Padahal, di banyak daerah, hasil panen petani lokal justru tidak terserap maksimal karena rendahnya harga beli.
Kebijakan pangan yang terlalu bergantung pada pasar global berisiko tinggi. Dalam situasi krisis iklim atau konflik internasional, rantai pasok dunia bisa terganggu dan memicu krisis domestik. Oleh karena itu, politik pangan seharusnya berorientasi pada kemandirian dan kedaulatan bangsa, bukan semata-mata memenuhi kebutuhan jangka pendek.
Aksi Hari Tani 2025 menggarisbawahi sejumlah persoalan yang menggambarkan kompleksitas krisis pangan nasional:
1. Biaya Produksi yang Terus Naik.
Pupuk, pestisida, dan benih semakin mahal, sementara hasil panen tak sebanding dengan pengeluaran. Subsidi pupuk yang tidak tepat sasaran menambah frustrasi di kalangan petani. Tanpa sistem distribusi yang adil dan transparan, petani akan terus menjadi korban dari tata kelola yang koruptif dan birokratis.
2. Harga Gabah yang Tidak Berpihak.
Petani sering dipaksa menjual gabah dengan harga rendah karena tidak punya daya tawar. Sementara di pasaran, harga beras tetap tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa rantai distribusi pangan dikuasai oleh tengkulak dan korporasi besar, bukan oleh petani sebagai produsen utama.
3. Kedaulatan Pangan yang Belum Nyata.
Istilah “kedaulatan pangan” sering dipakai dalam pidato pejabat, namun di lapangan masih sebatas retorika. Negara harus menata ulang arah kebijakan pertanian: memperkuat produksi dalam negeri, menekan impor, dan menjamin akses pasar bagi hasil tani lokal.
4. Ruang Tangkap Nelayan yang Menyempit.
Di sektor kelautan, nelayan kecil menghadapi masalah serupa. Reklamasi, proyek tambang pesisir, dan kapal besar yang mendominasi laut membuat ruang hidup nelayan tradisional semakin sempit. Politik pangan laut pun tidak luput dari ketimpangan kekuasaan.
5. Perampasan Tanah Masyarakat Adat.
Konflik agraria terus berulang di berbagai daerah. Masyarakat adat kehilangan tanah warisan leluhur karena ekspansi industri dan proyek strategis nasional. Padahal, UUD 1945 telah menjamin hak atas tanah dan ruang hidup mereka. Tanpa pengakuan hukum yang kuat, kearifan lokal dan identitas agraris bangsa akan semakin tergerus.
Pangan bukan sekadar urusan logistik, melainkan urusan politik dan moral negara. Ia menyangkut hak hidup manusia. Negara seharusnya menjadi pelindung bagi mereka yang menanam dan memanen, bukan justru menambah beban dengan kebijakan yang tidak berpihak.
Kedaulatan pangan harus dimaknai sebagai keberanian untuk berdiri di atas kaki sendiri — mengelola sumber daya dengan adil, mengatur distribusi secara merata, dan memastikan setiap warga negara memiliki akses terhadap pangan yang layak. Dalam konteks ini, politik pangan adalah wujud nyata dari sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Momentum Hari Tani harus menjadi pengingat bahwa kesejahteraan petani bukanlah isu pinggiran, melainkan pondasi kedaulatan bangsa. Pemerintah perlu membuka ruang dialog yang jujur dengan petani, nelayan, dan masyarakat adat. Kebijakan pangan tidak bisa dibuat di ruang rapat kementerian semata; ia harus lahir dari suara lapangan, dari mereka yang hidupnya bergantung pada tanah dan laut.
Indonesia memiliki semua modal untuk mandiri: tanah subur, laut luas, dan tenaga kerja agraris yang tangguh. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan politik untuk berpihak kepada rakyat kecil. Jika negara mampu menegakkan keberpihakan itu, maka kedaulatan pangan bukan lagi sekadar impian — melainkan kenyataan yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Penulis: Repina
Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)