Kota Serang, Ingin Bercitra Madani tapi Realita Sosialnya Memprihatinkan!

waktu baca 5 minutes
Senin, 23 Jun 2025 21:57 0 Patricia Pawestri

OPINI | TD – Semboyan ‘Kota Serang Madani’ seolah menjadi simbol keunggulan moral dan sosial bagi Kota Serang yang ada di Provinsi Banten. Tetapi di balik gema yang indah dari julukan tersebut, terdapat realita yang memilukan. Sebagian masyarakat Kota Serang merupakan masyarakat terpinggirkan. Dan, mereka tak pernah bersentuhan dengan layanan sosial pemerintah yang seharusnya melindunginya dari kesulitan hidup.

Realita Memilukan di Kota Serang

Tak sedikit warga Kota Serang yang ternyata hidup dalam kemiskinan ekstrem. Mereka tidak memiliki tempat tinggal, dan hanya bisa mengistirahatkan tubuhnya di trotoar pada malam hari. Banyak di antaranya yang menggantungkan hidup hanya dari mengamen. Lebih buruknya, tidak ada yang mempedulikan mereka untuk masuk ke dalam program layanan sosial dasar pemerintah setempat.

Di antara pembangunan gedung-gedung pemerintah dan proyek infrastruktur, terdapat kenyataan lain yang tak bisa disembunyikan. Anak-anak jalanan bertebaran di persimpangan jalan. Begitu juga pemulung berusia lansia, terutama di Pasar Rau. Sedangkan di pinggiran Kota Serang, warga miskin berjuang di tengah kesulitan mendapat air bersih.

Ketimpangan sosial yang mencolok antara pembangunan yang menjulang dengan keberadaan masyarakat yang terpinggirkan merupakan bukti bahwa Kota Serang bukanlah Kota Madani. Dalam falsafah madani bagi sebuah kota, sudah semestinya pemerintah setempat melindungi hak-hak seluruh warganya agar hidup sejahtera dan sehat.

Ini bukan hanya ironi, tapi bukti bahwa nilai-nilai madani belum menyentuh semua lapisan masyarakat.

Ketimpangan Sosial yang Menahun

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan di Kota Serang berada di kisaran 6–7 persen. Namun, angka ini hanya menyentuh permukaan. Di balik statistik yang tampak tenang, gelombang persoalan sosial terus mengendap dan membesar.

Di beberapa wilayah pinggiran seperti Kasemen dan Taktakan, anak-anak masih banyak yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang menengah. Tidak sedikit yang terpaksa membantu orang tua bekerja karena himpitan ekonomi. Sementara itu, data nasional mencatat sekitar 22 persen generasi muda Indonesia, terutama dari Gen Z masuk dalam kategori NEET (Not in Education, Employment, or Training), yang menandakan bahwa masalah pendidikan dan ketenagakerjaan saling bertaut erat. Kondisi ini sangat mungkin mencerminkan situasi yang sama di Kota Serang, terlebih dengan lemahnya sistem pendataan daerah yang spesifik soal anak putus sekolah.

Lebih lanjut, pengangguran terbuka di Kota Serang masih berkisar antara 7,12% hingga 7,45%, atau sekitar 27 ribu orang. Ini menempatkan Serang sebagai salah satu kota dengan tingkat pengangguran tertinggi di Provinsi Banten. Di sisi lain, pelatihan kerja dan program penyaluran tenaga kerja masih terbatas dan tidak merata. Ini menciptakan jurang antara kebutuhan pasar dan keterampilan masyarakat. Pendidikan yang tidak merata, lapangan kerja yang minim, dan sistem sosial yang belum responsif, semuanya berpadu dalam satu wajah Kota Serang sesungguhnya. Secara nyata, inilah ketimpangan sosial yang menahun yang tersamarkan oleh slogan ‘kota madani’.

Anak Jalanan: Cermin Retaknya Sistem Perlindungan

Keberadaan anak jalanan di Kota Serang seharusnya cukup untuk membunyikan alarm krisis sosial. Mereka bukan hanya korban kemiskinan, tapi juga korban dari minimnya kebijakan jangka panjang untuk perlindungan anak dan keluarga.

Penelitian oleh Hasanah & Diniarizky dari Universitas Serang Raya menunjukkan bahwa jumlah anak jalanan di Kota Serang meningkat signifikan. Dari 31 anak jalanan pada tahun 2016 menjadi 181 anak jalanan dalam kurun waktu beberapa tahun. Sayangnya, peningkatan jumlah ini tidak diimbangi oleh kebijakan rehabilitasi yang terstruktur maupun sarana pendukung seperti rumah singgah atau pelatihan keterampilan.

Studi tersebut mengungkapkan bahwa Kota Serang belum memiliki sistem pendampingan berkelanjutan yang mampu menarik anak-anak ini keluar dari lingkaran jalanan secara permanen. Penelitian lain oleh Stiawati dkk juga mengungkap Peraturan Daerah Kota Serang No. 2 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak, implementasinya belum menyentuh aspek praktis penanganan anak jalanan. Koordinasi antarlembaga masih lemah, dan keterlibatan komunitas lokal belum maksimal. Akibatnya, anak-anak tetap berada di jalanan, tanpa perlindungan hukum dan sosial yang memadai.

Dengan latar belakang ini, membiarkan anak-anak terus hidup di jalan bukan hanya soal kemiskinan, melainkan bukti retaknya fungsi negara dalam menjamin hak anak. Kota yang mengaku ‘madani’ semestinya tidak abai terhadap mereka yang paling rentan dan terpinggirkan.

Upaya penertiban yang dilakukan pemerintah selama ini bersifat reaktif. Razia jalanan, pembinaan sesaat, dan program insidental belum menjawab persoalan. Sedangkan anak-anak tersebut memiliki kebutuhan dasar yang tak terpenuhi, yakni pendidikan, perlindungan, dan jaminan sosial keluarga.

Di Mana Letak Madani Itu?

Masyarakat madani, idealnya, berarti masyarakat yang berkeadilan, inklusif, dan aktif memperjuangkan kebaikan bersama. Namun di Serang, klaim tersebut tampak belum tercermin dalam realitas sosial warganya. Sebagian masyarakat masih tertinggal dari jangkauan layanan dasar. Baik mengenai akses pada pendidikan, kesehatan, maupun perlindungan sosial.

Penelitian tentang program Jaminan Sosial Rakyat Banten Bersatu (JAMSOSRATU) menunjukkan bahwa kebijakan penanggulangan kemiskinan sering kali terhambat. Faktor-faktor penyebabnya adalah keterbatasan anggaran, kurangnya tenaga pendamping yang profesional, serta lemahnya koordinasi lintas sektor. Akibatnya, program sosial yang seharusnya menjangkau kelompok miskin dan rentan menjadi tidak berjalan efektif.

Studi lain mengenai pelayanan publik di Serang juga menyoroti ketimpangan capaian pembangunan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) memang meningkat, tetapi tetap berada di bawah rata-rata provinsi. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan belum menyentuh semua kalangan secara merata, terutama mereka yang hidup di kawasan kumuh atau bekerja di sektor informal.

Fakta-fakta ini memperjelas bahwa sebutan ‘Kota Madani’ untuk Serang belum didukung oleh sistem sosial dan birokrasi yang benar-benar melayani seluruh warganya. Predikat tersebut lebih sering hadir dalam bentuk slogan promosi ketimbang sebagai wujud nyata keadilan sosial yang terstruktur dan berkelanjutan.

Seruan untuk Pemerintah Daerah Kota Serang

Pemerintah Kota Serang perlu berani membuka mata dan hati. Jangan lagi hanya merayakan prestasi administratif, tapi gagal melihat luka sosial yang terus membesar. Anggaran daerah harus lebih berpihak pada layanan sosial dasar, bukan sekadar proyek pembangunan simbolik.

Warga miskin harus dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan. Program bantuan harus dalam rancangan dengan pendekatan jangka panjang, dengan basis data riil dan bukan sekadar data formal yang tidak menggambarkan situasi lapangan.

Kesimpulan

Sebutan ‘Kota Madani’ semestinya tak hanya menjadi pencitraan atau bahan promosi pemerintah Kota Serang. Sebuah kota yang benar-benar madani tidak akan mengabaikan warganya. Pemerintah kota madani yang sejati selalu hadir untuk semua warga, terutama bagi  mereka yang hidupnya kurang layak. Dengan memperhatikan dan mengentaskannya, maka pemerintah mewujudkan keadilan sosial yang menjadi hak dari setiap manusia.

Penulis: Muhammad Qashid Alghifari, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Editor: Patricia

LAINNYA