OPINI | TD – Indonesia tak pernah kekurangan cerita unik dari anak mudanya. Tapi dua nama berikut ini bikin kita berpikir keras tentang arah bangsa ini ke depan. Di satu sisi, ada Nur Afifah Balqis, koruptor termuda yang tercatat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di sisi lain, ada Sahdan Arya Maulana, Ketua RT termuda yang membawa semangat perubahan di lingkungannya. Dua sosok muda dengan jalan hidup yang sangat bertolak belakang, dan kisah mereka membuka obrolan penting tentang anak muda dan masa depan bangsa.
Nur Afifah Balqis, lahir tahun 1997 di Balikpapan, lulusan jurusan Hukum Bisnis dari salah satu kampus ternama. Di usia 24 tahun, dia sudah menjabat sebagai Bendahara Umum DPC Partai Demokrat Balikpapan. Posisi yang tentu tidak main-main—dan mengarah langsung ke akses anggaran partai, jejaring politik lokal, hingga ke tingkat pejabat daerah. Banyak orang di seumurannya masih sibuk mencari kerja atau lanjut kuliah, sedangkan Nur Afifah Bilqis sudah berhasil duduk di lingkar kekuasaan.
Sayangnya, tanggung jawab besar itu tidak sejalan dengan integritas. Dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT) KPK, Nur Afifah tertangkap menerima uang suap sebesar Rp5,7 miliar yang disalurkan lewat rekening pribadinya. Bahkan sempat terekam membawa koper yang berisi uang haram tersebut. Saat ditangkap, masih tersisa uang sebesar Rp447 juta di tangan rekannya. Nur Afifah pun divonis 4,5 tahun penjara dan kini mendekam di Lapas Perempuan Kelas IIA Tenggarong. Sangat di sayangkan, potensi besar yang dimilikinya berakhir sia-sia karena mentalitas yang instan dan rakus.
Kisah ini berhasil membuat kita bertanya-tanya, dari mana anak muda bisa mempunyai mental seperti ini? Jawabannya mungkin ada di lingkungan nya. Korupsi bukan sesuatu yang tiba-tiba tumbuh dalam diri seseorang. Ia ditularkan, diwariskan, dan dibiarkan tumbuh di sistem yang permisif. Nur Afifah mungkin tumbuh di lingkungan politik yang tidak memberikan teladan, hanya godaan kekuasaan dan uang.
Sedari kecil mungkin Nur Afifah sudah terbiasa melihat kegiatan “amplop-amplopan”, dan akhirnya menganggapnya suatu hal yang lumrah. Inilah salah satu bukti bahayanya ketika norma yang rusakdi jadikan budaya. Dan yang membuat semakin miris, publik kadang malah terkagum-kagum pada yang ‘berhasil’ menyusup sistem dan mengeruk uang rakyat, alih-alih mengutuknya. Kita sering terjebak pada kekaguman palsu, lupa bahwa cerdas tanpa akhlak itu bencana.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 188:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
Ayat ini jelas melarang perbuatan korupsi dalam bentuk apa pun. Tapi sekuat apa pun pesan agama, jika lingkungannya mendukung perilaku haram, anak muda pun sedikit demi sedikit akan turut rusak. Karena iman bukan hanya butuh ditanam, tapi juga dijaga dan disirami lingkungan yang sehat. Jangan heran kalau pada akhirnya banyak generasi muda yang tersesat bukan karena bodoh, tapi karena sistem yang busuk.
Di ujung lain spektrum, ada Sahdan Arya Maulana. Umurnya masih menginjak 19 tahun, dan sedang meniti pendidikannya di Universitas Muhammadiyah Jakarta, jurusan Teknik Industri. Jangan remehkan usianya, karena di umur yang masih belasan Sahdan terpilih sebagai Ketua RT 7 RW 8, Kelurahan Rawabadak Selatan, Jakarta Utara. Ia berhasil menumbangkan calon yang sebenarnya lebih matang usianya dan tentunya lebih berpengalaman. Meski awalnya sempat dianggap remeh dan tidak sedikit yang mengkritiknya dengan ungkapan berupa,“anak ingusan mau ngurus kampung?” tapi Sahdan melawannya dengan hasil kerjanya yang nyata.
Sahdan tak bekerja sendiri, ia membentuk tim kepengurusan yang semuanya berisikan anak muda, diantaranya ada Vemmas Wahyu (20 tahun) sebagai sekretaris dan Riski Saputra (21 tahun) sebagai bendahara. Ini bukan hanya simbol generasi muda yang mulai ikut masuk sistem, tapi juga bukti kalau anak muda bisa bekerja nyata. Mereka membawa semangat baru yang sering kali hilang di birokrasi yang sudah letih dan lambat.
Baru menjabat, Sahdan langsung menyusun pemetaan masalah—mulai dari jalan rusak sampai minimnya CCTV. Ia dan timnya langsung bergerak memperbaiki jalan yang dananya di topang dari dana pribadi pengurus, bantuan donatur, dan dana operasional RT. Bagaimana dengan respon warga? Pastinya sangat positif. Mereka akhirnya merasa didengar dan dilayani, bahkan beberapa warga merasa terharu, karena baru kali ini seorang ketua RT datang sendiri secara door-to-door untuk bertanya apa saja kebutuhan warganya.
Apa yang dilakukan Sahdan adalah cerminan nyata dari kepemimpinan yang sehat, mau mendengar, mau bekerja, dan yang paling penting tidak memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri. Meski belum lama menjabat, dampaknya sudah mulai terasa. Dan yang lebih penting lagi, dia berhasil menularkan semangat positif itu ke teman-teman sebayanya.
Tapi, apakah sistem di atasnya akan mendukung? atau malah menghambat karena takut akan adanya perubahan? Di sinilah tantangan yang sesungguhnya. Anak muda butuh ruang, bukan sekadar panggung.
Dua kisah ini membuktikan satu hal: anak muda adalah kekuatan besar, tapi arah kekuatan tersebut tergantung pada pilihan, nilai, dan lingkungan. Di tangan yang salah, anak muda bisa jadi mesin perusak. Tapi di tangan yang benar, mereka adalah agen perubahan.
Kita tidak bisa terus mengandalkan senioritas sebagai tolak ukur. Buktinya, banyak tokoh-tokoh senior yang melakukan korupsi, dan di sisi lain ada anak muda yang sudah berpikir jernih dan bertindak nyata. Yang kita butuhkan sekarang bukan umur yang dewasa, tapi jiwa yang matang dan hati yang jujur.
Alih-alih terus mencaci generasi muda yang ‘katanya’ malas atau tak peduli, lebih baik beri mereka ruang dan kepercayaan. Kalau saja partai politik bisa lebih selektif dalam memilih kader muda, mungkin Nur Afifah tak akan sampai seperti itu. Dan kalau semua lingkungan RT seaktif dan sejujur Sahdan, mungkin Indonesia akan punya wajah yang jauh lebih baik. Kita butuh lebih banyak Sahdan, bukan lebih banyak Nur Afifah.
Intinya, kita harus mulai memindahkan spotlight dari anak muda yang gagal ke anak muda yang berhasil. Stop glorifikasi koruptor muda yang katanya “pintar tapi tersesat”. Lebih baik angkat cerita-cerita inspiratif seperti Sahdan yang bisa menjadi role model. Karena bangsa ini, cepat atau lambat, akan benar-benar berada di tangan mereka.
Di usia 24 tahun, Nur Afifah memilih jalan instan penuh dosa. Di usia 19 tahun, Sahdan memilih jalan panjang penuh tantangan tapi berkah. Dua anak muda, dua arah masa depan Indonesia. Sekarang tinggal kita sebagai masyarakat, pemimpin, dan orang tua memilih mau mendukung generasi muda yang seperti siapa? Yang membawa koper uang haram, atau yang bawa proposal perbaikan jalan? Jawabannya ada di tangan kita semua. Dan pilihan kita akan menentukan wajah Indonesia di masa depan.
Penulis: Muhamad Hijar Ardiansah (Mahasiswa KPI UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon)
Editor: Nazwa