Koalisi Politik Pascapemilu: Antara Stabilitas dan Transaksi Kekuasaan

waktu baca 4 minutes
Sabtu, 18 Okt 2025 09:10 0 Nazwa

OPINI | TD — Pasca Pemilu 2024, lanskap politik Indonesia kembali diwarnai dinamika pembentukan koalisi partai-partai besar. Fenomena ini bukan hal baru, namun selalu menarik untuk dikaji karena koalisi politik berperan penting dalam menjaga stabilitas pemerintahan dan efektivitas kebijakan publik. Dalam sistem presidensial multipartai seperti Indonesia, keberadaan koalisi menjadi keharusan agar dukungan parlemen terhadap pemerintah tetap kuat.

Namun, persoalan muncul ketika koalisi lebih berorientasi pada transaksi kekuasaan ketimbang kepentingan rakyat. Koalisi besar pascapemilu yang tampak pragmatis justru menimbulkan pertanyaan: apakah stabilitas politik yang dihasilkan benar-benar demi rakyat, atau sekadar demi kenyamanan elit politik?

Sebagaimana dikemukakan Miriam Budiardjo (2008), partai politik sejatinya merupakan saluran aspirasi rakyat. Jika partai lebih sibuk bernegosiasi kursi dan posisi strategis, maka fungsi representatifnya terhadap publik kian kabur.

Dinamika Kepentingan dalam Pembentukan Koalisi

Proses pembentukan koalisi pascapemilu umumnya diwarnai tarik-menarik kepentingan antarpartai. Salah satu isu paling menonjol adalah perebutan kursi strategis di kabinet maupun parlemen. Fenomena ini menimbulkan kesan bahwa orientasi politik lebih mengarah pada pembagian kekuasaan, bukan pengabdian terhadap rakyat.

Selain itu, melemahnya peran oposisi juga menjadi masalah serius. Ketika hampir semua partai bergabung dalam barisan koalisi pemerintah, fungsi check and balance berpotensi lumpuh. Kritik terhadap kebijakan publik menjadi minim, sementara keputusan penting kerap disepakati tanpa kajian mendalam. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan cenderung tidak responsif terhadap kebutuhan rakyat, melainkan lebih mengakomodasi kepentingan elit politik.

Kondisi ini menunjukkan bahwa praktik politik pascapemilu di Indonesia masih kental dengan logika kekuasaan, bukan logika pelayanan publik. Proses pembentukan pemerintahan pun sering kali lebih mencerminkan kalkulasi politik daripada aspirasi masyarakat.

Analisis Teoritis: Dari Teori Koalisi hingga Demokrasi Konsolidasi

Dalam kajian ilmu politik, teori koalisi (coalition theory) menjelaskan bahwa kerja sama antarpartai dibangun untuk memaksimalkan kekuasaan dan mengamankan posisi politik. William Riker (1962) dalam teorinya tentang “minimal winning coalition” menegaskan bahwa partai-partai akan berkoalisi sejauh koalisi tersebut cukup untuk menang—tanpa perlu membagi kekuasaan terlalu luas.

Jika dikaitkan dengan kondisi Indonesia pasca Pemilu 2024, teori ini terasa relevan. Lembaga survei seperti LSI dan Indikator Politik Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat mulai menyadari terbentuknya koalisi gemuk yang cenderung pragmatis. Koalisi besar memang memberi jaminan stabilitas, tetapi sering kali memperlambat proses pengambilan keputusan di kabinet karena terlalu banyak kepentingan yang harus diakomodasi.

Sementara itu, teori demokrasi konsolidasi (Larry Diamond, 1999) menekankan pentingnya lembaga politik yang akuntabel serta kepercayaan publik terhadap proses politik. Jika koalisi didominasi kepentingan elit dan minim transparansi, maka kepercayaan publik akan menurun dan proses konsolidasi demokrasi akan terhambat.

Contohnya, dalam pembentukan kabinet pasca Pemilu 2024, publik dapat melihat bagaimana negosiasi antarpartai lebih menentukan penempatan posisi strategis ketimbang evaluasi berbasis kompetensi. Ini menciptakan jarak antara pemerintah dan rakyat yang diwakilinya.

Implikasi Politik dan Sosial: Stabilitas Semu dan Krisis Kepercayaan

Koalisi politik yang gemuk memang mampu menciptakan stabilitas jangka pendek dengan meminimalkan konflik di parlemen. Presiden pun dapat menjalankan program tanpa hambatan berarti dari oposisi. Namun, stabilitas yang dibangun di atas kompromi kekuasaan justru berpotensi melemahkan demokrasi substantif.

Kebijakan publik bisa kehilangan arah kritis dan berubah menjadi produk negosiasi elit. Misalnya, dalam penentuan kebijakan ekonomi, hukum, atau sosial, keputusan sering kali lahir dari kesepakatan politik, bukan hasil riset dan kebutuhan masyarakat.

Lebih jauh, jika masyarakat melihat politik sebagai arena transaksi kekuasaan, maka kepercayaan terhadap lembaga politik akan terus menurun. Fenomena ini dapat menumbuhkan apatisme politik — rakyat merasa suaranya tidak lagi bermakna. Akibatnya, partisipasi politik menurun dan demokrasi kehilangan ruh partisipatifnya.

Kesimpulan dan Rekomendasi: Membangun Koalisi yang Etis dan Transparan

Dinamika koalisi politik pascapemilu mencerminkan kompleksitas demokrasi Indonesia yang masih berproses. Koalisi memang diperlukan untuk menjaga stabilitas pemerintahan, tetapi harus diimbangi dengan etika politik dan transparansi publik.

Agar koalisi tidak sekadar menjadi ajang bagi-bagi kekuasaan, partai politik perlu mengedepankan akuntabilitas, integritas, dan orientasi kepentingan rakyat. Pemerintah juga wajib memastikan keberadaan oposisi yang sehat sebagai mekanisme pengawasan dalam sistem demokratis.

Jika keseimbangan antara stabilitas politik dan kepentingan publik dapat dijaga, maka koalisi akan menjadi fondasi bagi pemerintahan yang kuat sekaligus demokratis. Masa depan politik Indonesia harus diarahkan pada kemitraan berbasis visi kebangsaan, bukan transaksi kekuasaan jangka pendek.

Hanya dengan cara itu, demokrasi Indonesia dapat tumbuh bukan sekadar secara prosedural, tetapi juga secara substantif dan berkeadilan, berpihak pada rakyat dan masa depan bangsa.

Penulis: Assyifa Serliana Zein
Mahasiswa Semester 1, Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik,
Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA). (*)

LAINNYA