Kisruh PT GNI Tanda Pemerintah Harus Benahi Kebijakan Hilirisasi

waktu baca 4 menit
Jumat, 3 Feb 2023 12:35 0 53 Patricia Pawestri

MOROWALI | TD – Kisruh PT Gunbuster Nickel Industry (PT GNI) di Morowali Utara, Sulawesi Tengah, yang terjadi sejak Desember 2022 hendaknya menjadi rambu-rambu untuk pemerintah segera memperbaiki sistem hilirisasi nikel.

Pada investigasi lapangan yang dilakukan oleh pihak DPR atas peristiwa ledakan yang menewaskan dua pekerja PT GNI pada Desember 2022 lalu, ditemukan bahwa perusahaan tidak memperhatikan keselamatan pekerja. Hal ini terbukti dengan perlengkapan keamanan kerja yang kurang, seperti sepatu boot khusus, jaket tahan api dan lainnya.

Namun, peristiwa bentrokan antar pekerja PT GNI pada 14 Januari 2023 membuktikan bahwa bukan hanya perkara keselamatan pekerja saja yang selama ini tidak dipenuhi oleh perusahaan. Bentrokan yang terjadi antara pekerja lokal dengan tenaga kerja asing (TKA) tersebut menggambarkan hubungan industrial yang buruk.

Bentrokan ini disebut sebagai unjuk keprihatinan pekerja lokal atas perhatian yang minim dari perusahaan kepada pekerja lokal. Diketahui TKA yang berjumlah hingga 1600 orang dimanfaatkan oleh perusahaan sebagai pagar betis untuk menangkal protes dari pekerja lokal.

Dalam bentrokan tersebut dua orang tewas dan beberapa fasilitas perusahaan terbakar. Sejumlah orang yang diduga terlibat dalam insiden kemudian diamankan oleh kepolisian.

Mengenai hal ini, Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, mengatakan, “Menurut saya tidak usah kita saling menyalahkan siapa-siapa lah. Kita cari solusinya yang terbaik, kita evaluasi diri saja. Dan memang dalam pekerjaan pasti akan terjadi pergesekan-pergesekan apalagi sudah melibatkan ribuan orang.”

Hal tersebut ia kemukakan dalam konferensi pers tanggal 24 Januari 2023.

“Tim saya juga lagi bekerja. Patut kita sayangkan bersama, kenapa? Ini menjadi materi evaluasi baik dari investornya, baik dari karyawannya, karyawannya itu di dalam juga ada dua, baik karyawan asing maupun dalam negeri, baik pemerintahnya, baik juga keamanannya,” lanjut Bahlil Lahadalia.

Mengenai kurang lengkapnya alat perlindungan diri (APD), Head of Human Resource and General Affair (HRGA) PT GNI, Muknis Basri Assegaf, mengatakan pada 24 Januari 2023 tersebut perusahaan mendatangkan 11.000 unit APD.

“APD berupa baju, helm, dan lain-lain sudah datang, dan sedang kami data karyawan-karyawan yang membutuhkan. Baik karyawan baru maupun karyawan lama yang sudah harus mendapatkan menggantian yang baru,” tutur Muknis Basri Assegaf.

“Sepatu safety juga untuk data segera kami penuhi, yang jelas sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan karyawan baru ataupun karyawan lama yang membutuhkan pergantian,” lanjutnya.

“Termasuk soal sirkulasi udara yang diminta dalam tuntutan aksi yang lalu juga sudah datang hanya saja masih nunggu proses administrasi kemudian akan segera dipasang dalam minggu ini dan mungkin minggu depan sudah bisa mulai satu per satu dipasang,” tambah Muknis.

Dengan penyediaan APD berjumlah besar tersebut, Muknis mengatakan PT GNI ingin menunjukkan komitmen untuk selalu memperhatikan kesehatan dan keselamatan para karyawan. Dengan ini perusahaan juga berharap situasi segera kondusif.

Namun harapan tersebut masih terasa mengambang ketika pada 29 Januari 2023 terjadi kecelakaan kerja pada seorang sopir dump truck PT GNI. Nelgi Ruka, sopir yang berasal dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan, tergelincir di area jalan hauling. Hauling adalah area truk-truk melintas mengangkut hasil tambang.

Kasus tersebut kini masih dalam pengusutan Polres Morowali Utara.

Panjangnya kericuhan yang terjadi pada Desember 2022 hingga Januari 2023 di PT GNI tersebut adalah tanda waktunya berbenah. Bukan hanya tentang kebijakan pemerintah mengenai peningkatan ekonomi dari pertambangan semata. Tetapi juga tentang kebijakan besarnya porsi TKA di kawasan industri yang dapat menjadi bom waktu bencana sosial.

Pemerintah seyogyanya juga memperhatikan relasi bisnis dengan masyarakat lokal dan juga dengan lingkungan. Sebelumnya, terdapat data-data bahwa penambangan dan hilirisasi nikel telah mendeforestasi lahan hingga setengah juta hektare di Morowali. Lokasi penambangan juga telah menyasar cagar alam dan pertanian warga. Sementara itu, banyak terdapat data bahwa pertambangan nikel di Morowali kurang memperhatikan pengendalian amdal. Lubang-lubang galian yang sudah terpakai bahkan di tinggalkan begitu saja (Mongabay,2013).

Mengenai aturan ketenagakerjaan di Morowali pun terkesan abu-abu. Pemerintah mengatakan bahwa ketenagakerjaan di Morowali menggunakan UU Tenaga Kerja Nasional. Tetapi di lapangan, perusahaan tambang nikel justru banyak menggunakan jasa kontraktor dan subkontraktor yang umumnya berasal dari Cina. Penggunaan TKA tersebut bukan hanya untuk tenaga ahli tertentu saja, tetapi juga untuk tenaga kasar dan umum.

Adanya TKA memang tidak terelakkan terkait investasi yang diperoleh dari Cina. Sedang pemerintah memerlukannya untuk mengelola tambang guna memenuhi target kawasan industri berkelas dunia. Konsesi seperti ini umum adanya di negara-negara lain yang memperoleh investasi dari negeri bambu tersebut.

Namun semestinya hal tersebut justru harus diperhatikan pemerintah. Regulasi yang jelas dan ketat antara relasi tenaga lokal dan TKA dapat menghindarkan meledaknya bom waktu bencana sosial.

Sekali lagi, pemerintah seharusnya memperhatikan, jangan sampai keinginan untuk mendulang tingginya pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan nikel justru berbalik menjadi bencana-bencana, baik sosial dan lingkungan, yang jauh menelan biaya lebih besar. Apalagi jika terjadi bencana-bencana tersebut, pihak yang pertama dan paling berat merasakan penderitaan adalah masyarakat lokal yang tidak ada kaitannya dengan aktifitas perusahaan pertambangan. ***

LAINNYA