Zalfa Husniyah. (Foto: Dok. Pribadi)OPINI | TD – Di era di mana informasi telah bermetamorfosis menjadi infrastruktur vital, Indonesia kini berada di persimpangan jalan yang krusial. Ledakan teknologi Artificial Intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT) telah mengubah wajah ruang siber kita menjadi “hutan belantara” informasi yang luas namun penuh risiko, karena karakteristiknya yang tak terbatas dan terus berkembang. Tanpa pagar hukum yang kokoh dan lincah, masyarakat kita kini rentan terjebak dalam eksploitasi data dan bias algoritma yang sistematis.
Salah satu tantangan terbesar dalam tata kelola informasi digital adalah sifat hukum konvensional yang cenderung reaktif dan lamban. Sementara inovasi digital bergerak dalam lintasan eksponensial, proses legislasi berjalan linier, menciptakan asimetri informasi di mana perusahaan teknologi memiliki pemahaman risiko yang lebih mendalam daripada regulator pemerintah.
Dalam perspektif ilmu informasi, fenomena ini mempertegas teori “Code is Law” yang diartikulasikan oleh Lawrence Lessig. Di ruang siber, arsitektur teknologi atau kode program sering kali memiliki otoritas yang lebih kuat dalam mengatur perilaku pengguna dibandingkan aturan hukum yang dikodifikasi. Jika tidak ada langkah regulasi yang adaptif, kekosongan hukum ini berpotensi mengikis kepercayaan publik terhadap ekosistem digital.
Bagi akademisi ilmu informasi, masalah “Akuntabilitas Algoritma” adalah isu krusial. AI generatif yang masif saat ini mengandalkan praktik pengambilan data (data scraping) yang memicu perdebatan mengenai hak cipta dan persetujuan subjek data. Tantangan nyata muncul ketika algoritma menghasilkan keputusan diskriminatif (algorithmic bias), yang menimbulkan pertanyaan besar mengenai siapa yang harus bertanggung jawab secara hukum.
Meskipun Indonesia telah memiliki UU ITE dan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), implementasinya masih menghadapi kendala besar, mulai dari interpretasi pasal yang ambigu hingga keterbatasan sumber daya manusia dalam hal digital forensics.
Untuk menghindari “kiamat privasi,” Indonesia harus segera bergeser dari pendekatan reaktif menuju model regulasi yang lincah (agile) dan antisipatif. Beberapa strategi yang diusulkan antara lain:
Sebagai mahasiswa Ilmu Informasi, kita memiliki tanggung jawab strategis dalam menjembatani celah antara teknologi dan hukum melalui:
Kepastian hukum di ruang digital bukan hanya tugas aparat penegak hukum, melainkan tanggung jawab kolektif para pengelola informasi. Melalui model regulasi yang antisipatif, Indonesia dapat memastikan bahwa kemajuan teknologi tetap selaras dengan pelindungan hak-hak digital setiap warga negara.
Penulis: Zalfa Husniyah, Mahasiswa Program Studi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. (*)