Ilustrasi: Gambar dibuat menggunakan teknologi kecerdasan buatan oleh TangerangDailyOPINI | TD — Ketika pasukan Inggris mendarat di Surabaya pada akhir Oktober 1945, mereka tidak menyangka akan menghadapi perlawanan sebesar itu. Kota yang baru saja merayakan kemerdekaannya berubah menjadi medan perang paling dahsyat dalam sejarah pascakemerdekaan Indonesia. Dari gang sempit hingga Jembatan Merah, rakyat Surabaya berjuang tanpa gentar melawan kekuatan militer modern. Mereka bukan tentara terlatih, tapi rakyat yang sadar: kemerdekaan bukan hadiah, melainkan harga diri yang harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan.
Ketika pasukan Inggris mendarat di Surabaya pada akhir Oktober 1945, dunia baru saja keluar dari kengerian Perang Dunia II. Inggris datang bukan untuk menjajah — setidaknya itu alasan resmi mereka. Tujuan utama pasukan Sekutu adalah melucuti senjata tentara Jepang yang telah menyerah dan membebaskan tawanan perang Eropa.
Namun di balik mandat itu, Belanda menyelinap di bawah panji Inggris dengan agenda tersembunyi: merebut kembali kekuasaannya atas Hindia Timur. Bagi rakyat Indonesia yang baru memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, kedatangan pasukan asing bersenjata jelas merupakan ancaman langsung terhadap kedaulatan bangsa.
Surabaya, kota pelabuhan terbesar di timur Jawa, seketika berubah dari pusat logistik menjadi pusat perlawanan rakyat. Di sanalah bara perjuangan kemerdekaan menyala paling terang — dan paling berdarah.
Benih pertempuran itu muncul pada 19 September 1945. Di atap Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit), sekelompok orang Belanda di bawah perlindungan Sekutu berani mengibarkan bendera merah-putih-biru.
Bagi rakyat Surabaya, tindakan itu adalah penghinaan terhadap kemerdekaan yang baru seumur jagung. Mereka tidak tinggal diam. Dalam peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Insiden Sobek Bendera, para pemuda memanjat atap hotel, merobek bagian biru bendera tersebut, dan mengibarkan Merah Putih — simbol harga diri bangsa yang tak bisa diinjak-injak lagi.
Ketegangan mencapai puncaknya pada 30 Oktober 1945. Brigadir Jenderal A. W. S. Mallaby, komandan pasukan Inggris di Surabaya, tewas dalam baku tembak di sekitar Jembatan Merah.
Hingga kini, kronologi pasti kematiannya masih diperdebatkan. Namun peristiwa itu menjadi pemicu Inggris mengeluarkan ultimatum keras. Mereka menuntut seluruh pasukan dan rakyat bersenjata di Surabaya menyerahkan senjata paling lambat pukul 06.00 pagi, 10 November 1945.
Pemerintah Indonesia di Jakarta sempat mengimbau agar rakyat mematuhi ultimatum. Namun di Surabaya, semangat juang sudah tidak bisa dibendung lagi. Menyerahkan senjata berarti menyerahkan kemerdekaan. Maka rakyat menolak.
Pagi itu, 10 November 1945, langit Surabaya terbakar. Inggris melancarkan serangan besar-besaran dari darat, laut, dan udara. Tank Sherman menggempur dari jalan-jalan sempit, kapal perang menembaki dari laut, dan pesawat tempur menukik rendah menghujani kota dengan bom.
Namun pasukan rakyat Surabaya tidak mundur. Mereka bertempur dari rumah ke rumah, gang ke gang, dengan senjata seadanya. Semangat mereka tak bisa dijelaskan oleh logika perang modern.
Dalam laporan resmi British War Office disebutkan:
“Pertempuran Surabaya adalah salah satu yang paling sulit di Asia. Kami menghadapi bukan pasukan, tapi rakyat yang memilih mati daripada dijajah.”
Selama tiga minggu penuh — dari 10 November hingga awal Desember 1945 — pertempuran berlangsung seperti neraka. Ribuan pejuang dan warga sipil gugur, separuh kota hancur menjadi abu. Namun api perjuangan itu justru membakar semangat bangsa di seluruh Nusantara.
Dan meski Inggris akhirnya berhasil menguasai kota, kemenangan itu hanya bersifat fisik. Secara moral, mereka kalah telak. Sebab di Surabaya-lah dunia menyaksikan: bangsa ini tak akan pernah mau dijajah lagi.
Setelah pertempuran, Inggris mulai menyadari bahwa melanjutkan perang di Indonesia tidak akan membawa hasil. Mereka tidak hanya menguras logistik, tetapi juga melawan nurani sendiri.
Inggris pun memilih mundur secara bertahap dan menyerahkan urusan politik kepada Belanda — yang pada akhirnya juga gagal menundukkan semangat kemerdekaan bangsa Indonesia.
Kota Surabaya membuktikan bahwa kemenangan sejati bukan soal siapa yang punya senjata paling besar, tetapi siapa yang punya keyakinan paling kuat. Bangsa Indonesia, meski baru lahir, telah menunjukkan kepada dunia bahwa selama semangat kemerdekaan masih hidup di dada rakyatnya, tidak ada kekuatan asing yang bisa menundukkannya lagi.
Referensi
Civilian Casualties from British Military: The Indonesian War of Independence – AOAV
Dilema Mallaby – Historia
Battle of Surabaya – Wikipedia
The British Occupation of Indonesia 1945–1946 – Routledge PDF Preview
Imperial Silences: From Rhodes to Surabaya – International Socialism Journal
Tiga Versi Tentang Kematian Brigjend Mallaby – Berdikari Online
Indonesian Perspectives on British Occupation Forces – JSTOR
Fighting in Surabaya – Imperial War Museums (IWM)
Penulis: Oleh Sugeng Prasetyo. (*)