Citra Sananda Auia. (Foto: Dok. Pribadi)OPINI | TD — Demo sejak lama dipahami sebagai denyut demokrasi. Ia adalah cara rakyat menyampaikan kegelisahan ketika ruang dialog terasa buntu. Karena itu, setiap kali mendengar kabar tentang demonstrasi, saya cenderung melihatnya sebagai bagian wajar dari kehidupan berdemokrasi. Namun, peristiwa kericuhan demo di Kota Serang—yang berujung pada diamankannya belasan orang— beberapa waktu yang lalu menghadirkan perasaan yang lebih kompleks: prihatin, kecewa, sekaligus cemas.
Alih-alih menjadi panggung aspirasi, demo tersebut justru berubah menjadi kericuhan. Bentrokan, kekacauan, dan keterlibatan pihak-pihak yang seharusnya tidak berada di sana, seperti pelajar, membuat tujuan awal aksi seolah tenggelam. Pada titik ini, saya merasa perlu bertanya: apakah kita benar-benar sedang memperjuangkan suara rakyat, atau justru sedang kehilangan arah dalam menyuarakannya?
Sejarah bangsa ini mencatat bahwa demonstrasi pernah menjadi alat perubahan yang sangat kuat. Reformasi 1998 adalah bukti paling nyata. Namun, sejarah yang sama juga mengajarkan bahwa tidak semua demo otomatis bermakna. Ada garis tipis yang membedakan demonstrasi yang bermartabat dengan aksi yang berubah menjadi sekadar luapan emosi. Ketika demo berujung ricuh, substansi tuntutan sering kali kalah oleh citra kekerasan yang muncul di permukaan. Simpati publik pun perlahan menghilang, digantikan oleh rasa lelah dan penilaian negatif.
Salah satu aspek yang paling mengusik dari kericuhan di Serang adalah keterlibatan pelajar. Saya tidak menolak gagasan bahwa pelajar dan anak muda berhak bersuara. Bahkan, keberanian untuk kritis adalah modal penting bagi masa depan demokrasi. Namun, hak tersebut seharusnya dibarengi dengan pemahaman dan kesadaran. Ketika pelajar terseret dalam aksi ricuh, yang dipertaruhkan bukan hanya keselamatan mereka, tetapi juga masa depan mereka sendiri. Di sinilah saya melihat adanya persoalan serius dalam pendidikan politik kita: kritis belum sepenuhnya diiringi dengan kedewasaan.
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari peran banyak pihak. Keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk cara pandang generasi muda terhadap politik dan demokrasi. Rasa ingin tahu yang tinggi tanpa pemahaman tentang konsekuensi sering kali membuat anak muda mudah terbawa arus. Tanpa bekal literasi politik yang memadai, demo bisa berubah dari ruang belajar menjadi ruang yang berbahaya.
Di sisi lain, aparat dan pemerintah juga tidak bisa sekadar berdiri sebagai penonton yang bereaksi di ujung peristiwa. Aparat memang bertugas menjaga ketertiban, tetapi pendekatan persuasif dan dialogis seharusnya lebih dikedepankan sebelum situasi memanas. Pemerintah pun perlu bercermin: sering kali demonstrasi lahir dari kekecewaan yang menumpuk. Jika ruang dialog dibuka sejak awal dan suara masyarakat didengar dengan sungguh-sungguh, potensi kericuhan dapat ditekan.
Bagi saya, kericuhan demo di Kota Serang adalah cermin yang memantulkan wajah demokrasi kita hari ini—masih hidup, tetapi belum sepenuhnya dewasa. Demokrasi bukan hanya soal kebebasan berteriak, melainkan juga tanggung jawab dalam menyampaikan suara. Menjadi kritis itu penting, tetapi cara menyampaikannya jauh lebih menentukan apakah kritik tersebut akan membawa perubahan atau justru menimbulkan kerusakan.
Aspirasi tidak selalu harus diteriakkan di jalan dengan amarah. Ia bisa hadir lewat tulisan, diskusi, media sosial, atau aksi damai yang terorganisir. Ketika suara rakyat disampaikan dengan cara yang bijak, pesan akan lebih mudah sampai dan diterima.
Kericuhan mungkin tidak akan pernah sepenuhnya hilang dari perjalanan demokrasi. Namun, dengan kesadaran bersama—dari masyarakat, generasi muda, aparat, hingga pemerintah—demo dapat kembali pada hakikatnya: bukan sekadar teriakan di jalan, melainkan suara rakyat yang berusaha didengar dan dipahami.
Penulis: Citra Sananda Auia
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)