Ilustrasi dibuat menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) oleh penulis. OPINI | TD — Pancasila sejak awal dirancang sebagai dasar pemersatu bangsa. Ia menolak ketimpangan yang berlebihan dan menegaskan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, di tengah wacana pembangunan dan modernisasi ekonomi, kita justru menyaksikan munculnya fenomena borjuis pancasilais—kelompok kelas menengah atas yang lantang mengusung nilai-nilai Pancasila, tetapi di saat yang sama menikmati keuntungan ekonomi-politik yang justru bertentangan dengan semangat keadilan sosial itu sendiri.
Istilah borjuis berasal dari bahasa Prancis bourgeoisie, yakni kelas sosial menengah ke atas yang memiliki modal, alat produksi, dan kekuasaan ekonomi untuk memengaruhi kebijakan negara. Dalam pandangan Karl Marx, kaum borjuis adalah kelompok yang menguasai alat-alat produksi selama masa industrialisasi modern. Mereka bukan hanya berkuasa secara ekonomi, tetapi juga membentuk budaya dan gaya hidup konsumtif yang menjadi simbol status sosial.
Di Indonesia, istilah borjuis merujuk pada elit ekonomi yang paling banyak menikmati hasil pembangunan, sementara sebagian besar rakyat masih berjuang di tengah keterbatasan. Fenomena ini menciptakan jurang lebar antara simbol nasionalisme dan realitas ketimpangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan nasional pada Maret 2025 turun menjadi 8,47 persen—terendah dalam dua dekade terakhir. Namun di balik angka itu, ketimpangan tetap menganga. Di pedesaan, angka kemiskinan mencapai 11,03 persen, jauh di atas perkotaan yang hanya 6,73 persen.
Sementara itu, Gini Ratio Indonesia bertahan di angka 0,381 (BPS, 2024), menandakan distribusi pendapatan yang masih timpang. Bahkan laporan Oxfam (2017) menyebut empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 100 juta penduduk termiskin. Fakta ini memperlihatkan betapa kuatnya dominasi kelas borjuis dalam struktur ekonomi nasional—di saat Pancasila menuntut pemerataan, bukan akumulasi.
Ironisnya, di tengah situasi ini Pancasila justru sering diperlakukan sebagai alat legitimasi moral. Ia menjadi simbol seremonial dalam pidato pejabat, kampanye politik, dan slogan institusional, tanpa makna praksis dalam kebijakan ekonomi.
Dalam kapitalisme kontemporer, kemanusiaan dan keadilan berubah menjadi jargon, bukan tindakan. Ideologi yang semestinya membebaskan rakyat kini justru melindungi kepentingan ekonomi elit. Dengan menggabungkan nasionalisme simbolik dan praktik neoliberal, kelompok borjuis menciptakan wajah baru kekuasaan yang terlihat patriotik, tetapi sesungguhnya eksploitatif.
Kaum borjuis inilah yang sering tampil sebagai “pelindung” Pancasila. Mereka bicara tentang gotong royong di atas panggung politik, namun menjalankan bisnis dengan praktik monopoli. Mereka menyerukan pendidikan karakter berbasis Pancasila, tetapi menyekolahkan anak-anaknya di sekolah internasional yang eksklusif. Mereka mengampanyekan cinta produk lokal, tetapi bergantung pada barang impor untuk memenuhi gaya hidupnya.
Apakah borjuis pancasilais hanyalah kemunafikan ideologis atau sekadar ironi struktural? Mungkin keduanya. Dalam sistem ekonomi yang berpusat pada modal, mereka terjebak dalam kepentingan untuk mempertahankan status quo. Program seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) memang membantu rakyat miskin, tetapi keuntungan terbesar tetap mengalir ke kelas atas melalui proyek infrastruktur besar dan konsesi sumber daya alam.
Dalam logika borjuis pancasilais, Pancasila bukan lagi ideologi transformasi, melainkan alat legitimasi status sosial. Ia hadir dalam upacara dan kurikulum, tetapi absen dalam distribusi kekayaan dan akses sosial.
Sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, seharusnya menjadi roh kebijakan nasional. Namun, keadilan sosial tidak mungkin terwujud tanpa keberanian politik untuk mengoreksi ketimpangan struktural.
Pertama, pemerintah perlu memperkuat akses layanan publik di pedesaan—karena di sanalah kantong kemiskinan terbesar berada. Kedua, batasi dominasi oligarki politik yang menggunakan Pancasila sebagai selimut ideologis untuk melanggengkan akumulasi kapital. Ketiga, dorong kebijakan redistribusi ekonomi yang nyata, seperti pajak progresif bagi kelas atas, pengembangan industri berbasis rakyat, serta peningkatan kualitas pendidikan publik.
Di luar itu, generasi muda dan masyarakat sipil harus aktif mengawasi kebijakan publik dan menumbuhkan kesadaran kritis bahwa Pancasila bukan sekadar simbol moral, tetapi pedoman praksis dalam perjuangan keadilan sosial.
Generasi muda Indonesia memikul tanggung jawab moral dan historis untuk mengembalikan makna sejati Pancasila. Ideologi ini tidak boleh menjadi topeng moral bagi oligarki, melainkan harus menjadi landasan perjuangan melawan kemunafikan struktural.
Dengan kesadaran kritis dan keberanian politik, Pancasila dapat kembali berfungsi sebagai ideologi pembebasan—membela yang lemah, menantang ketimpangan, dan menegakkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penulis: Fadiyah Hamdan
Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)