Ketika Negara Absen: Mafia Tanah dan Pengkhianatan Kontrak Politik di Banten

waktu baca 4 minutes
Kamis, 19 Jun 2025 13:32 0 Patricia Pawestri

OPINI | TD – Dalam teori kontrak politik yang diperkenalkan oleh para pemikir seperti John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Thomas Hobbes, negara terbentuk atas dasar kesepakatan antara rakyat dan penguasa. Kesepakatan itu tidak tertulis, namun menjadi fondasi dari seluruh legitimasi kekuasaan: rakyat bersedia dipimpin selama pemimpin menjamin hak-hak mereka. Di antara hak yang paling fundamental adalah hak atas hidup, kebebasan, dan kepemilikan.

Ketika negara gagal menjalankan kewajiban ini, yaitu terutama melindungi kepemilikan rakyat, maka kontrak tersebut dianggap batal secara moral. Di situlah posisi negara berubah: dari pelindung menjadi pelanggar. Dan inilah yang tengah terjadi secara menyakitkan di sejumlah wilayah di Provinsi Banten, khususnya Kabupaten Serang dan Lebak. Di wilayah tersebut praktik mafia tanah merajalela, dan negara absen, bahkan kadang justru terlibat.

Mafia Tanah: Ketika Negara Menjadi Penonton atau Pelaku

Sejumlah laporan investigatif dari media lokal dan advokasi masyarakat menunjukkan betapa rapi dan sistematisnya praktik mafia tanah di Banten. Modus-modus yang digunakan antara lain pembuatan sertifikat ganda, pengukuran ulang tanpa sepengetahuan warga, pemalsuan dokumen waris, hingga jual beli data di internal birokrasi pertanahan. Beberapa warga di Kecamatan Wanasalam, Lebak, mengaku tiba-tiba digugat karena tanah yang mereka garap selama lebih dari 30 tahun ternyata telah bersertifikat atas nama orang asing yang bahkan belum pernah menginjakkan kaki ke wilayah tersebut.

Yang membuat situasi ini lebih tragis adalah keterlibatan oknum pemerintah desa, aparat pertanahan, bahkan pejabat struktural di BPN. Dengan kata lain, negara bukan hanya abai, tapi juga menjadi bagian dari skema yang merugikan warganya sendiri. Dalam konteks teori kontrak sosial, ini merupakan bentuk pengkhianatan yang sangat dalam terhadap amanat rakyat.

Runtuhnya Kepercayaan dan Legitimasi Kekuasaan

Kehadiran negara seharusnya menjamin rasa aman dan kepastian hukum. Namun dalam realitas yang dihadapi masyarakat korban mafia tanah, negara justru hadir sebagai sumber ketakutan dan ketidakpastian. Ketika seorang petani kehilangan tanahnya akibat dokumen palsu yang disahkan aparat, bukan hanya hak miliknya yang terampas, tapi juga martabat, rasa keadilan, dan kepercayaannya terhadap sistem negara.

Kepercayaan adalah mata uang paling berharga dalam politik. Tanpa kepercayaan, tidak ada legitimasi. Dan ketika legitimasi runtuh, sistem demokrasi lokal berada di tepi jurang. Apatisme politik, delegitimasi pemilu, hingga potensi konflik agraria adalah dampak lanjutannya. Ini bukan lagi sekadar isu birokratis atau hukum pertanahan. Ini adalah krisis politik dan moral negara di hadapan warganya sendiri.

Negara yang Tidak Netral: Peran Aktor Lokal dalam Skema Mafia Tanah

Di balik praktik mafia tanah, terdapat jejaring kekuasaan lokal yang memanfaatkan kewenangannya untuk keuntungan pribadi. Oknum kepala desa, ASN, notaris, hingga pejabat pertanahan membentuk simpul-simpul yang saling mengunci. Negara yang seharusnya menjadi penengah justru tenggelam dalam kompromi dan kolusi. Bahkan ketika warga melapor, banyak yang berujung buntu. Laporan tidak ditindaklanjuti, proses hukum berjalan lambat, atau malah berbalik menyalahkan korban.

Dalam banyak kasus, korban adalah warga kecil, petani, dan masyarakat adat yang tidak memiliki kekuatan politik atau ekonomi. Sedangkan pelaku kerap berlindung di balik kekuasaan dan koneksi institusional. Ini menjadikan negara sebagai alat kekerasan struktural, bukan lagi pelayan publik. Teori kontrak politik menjadi relevan di sini, karena ketika kekuasaan tak lagi menjalankan fungsi protektif maka legitimasi kekuasaan itu dengan sendirinya terhapus.

Menuju Pemulihan: Membangun Ulang Kontrak Sosial di Banten

Menyelesaikan persoalan mafia tanah tidak cukup dengan penangkapan satu dua pelaku. Harus ada langkah struktural dan politik untuk mengembalikan fungsi negara sebagai pelindung rakyat. Pemerintah Provinsi Banten perlu membentuk tim independen penyelesaian konflik agraria, melibatkan Ombudsman, akademisi, serta kelompok masyarakat sipil untuk mengaudit ulang penerbitan sertifikat yang bermasalah.

Lebih jauh lagi, dibutuhkan rekonstruksi hubungan antara warga dan negara—rekonstruksi kontrak sosial yang selama ini dikhianati. Pemerintah harus membangun ulang kepercayaan, bukan dengan retorika atau simbol, melainkan dengan tindakan nyata: mengembalikan hak tanah warga, menindak aparat yang terlibat, dan memperkuat transparansi dalam pelayanan pertanahan.

Negara Harus Kembali kepada Rakyat

Kekuasaan bukanlah hadiah, melainkan mandat. Mandat itu lahir dari kepercayaan yang dibangun secara terus-menerus melalui keadilan dan keberpihakan kepada yang lemah. Kasus mafia tanah di Banten adalah simbol dari kegagalan negara dalam memenuhi janji itu.

Kini waktunya negara membuktikan bahwa ia masih layak dipercaya. Jika tidak, maka pengkhianatan terhadap kontrak politik akan terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya—dan harga yang harus dibayar bukan hanya tanah, tapi masa depan demokrasi itu sendiri.

Penulis: Asri Wulandari, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Editor: Patricia

 

LAINNYA