Ketika Kampus Menjadi Panggung: Budaya Konten dan Matinya Nalar Akademik

waktu baca 3 minutes
Sabtu, 13 Des 2025 17:03 0 Nazwa

OPINI | TD – Kampus seharusnya menjadi ruang pembentukan nalar kritis, tempat gagasan diuji dan pengetahuan diproduksi melalui proses intelektual yang panjang. Namun di era digital, wajah kampus perlahan berubah menjadi panggung pertunjukan. Budaya konten—yang digerakkan oleh media sosial—kian mendominasi kehidupan mahasiswa, bahkan mulai menggeser nilai-nilai dasar budaya akademik itu sendiri.

Media sosial memang menawarkan kemudahan: akses informasi yang cepat, ruang ekspresi yang luas, serta peluang membangun jejaring. Akan tetapi, kemudahan tersebut dibayar mahal dengan melemahnya tradisi berpikir mendalam. Aktivitas akademik kini kerap diukur bukan dari kualitas riset atau kekuatan argumen, melainkan dari seberapa menarik konten yang dihasilkan dan seberapa banyak interaksi yang diperoleh. Pengetahuan dipadatkan menjadi potongan video 30 detik, diskusi disederhanakan menjadi kutipan visual, dan refleksi kritis digantikan oleh estetika.

Fenomena ini melahirkan budaya instan yang bertolak belakang dengan esensi akademik. Proses membaca, meneliti, dan menimbang argumen secara mendalam semakin terpinggirkan. Mahasiswa cenderung mengonsumsi informasi yang cepat dan mudah dicerna, tanpa proses verifikasi dan analisis yang memadai. Akibatnya, kualitas argumentasi menurun, sementara kemampuan berpikir kritis melemah. Kampus yang semestinya menjadi ruang kontemplasi berubah menjadi ruang produksi impresi.

Budaya konten juga membentuk orientasi baru dalam identitas mahasiswa. Tidak sedikit mahasiswa yang lebih sibuk merawat personal branding dibandingkan memperdalam kapasitas akademik. Keaktifan organisasi, partisipasi kegiatan kampus, bahkan diskusi ilmiah kerap diperlakukan sebagai bahan konten, bukan sebagai proses belajar. Validasi digital—berupa likes, views, dan engagement—perlahan menggantikan pengakuan akademik. Temuan Kementerian Komunikasi dan Informatika (2023) menunjukkan bahwa mahasiswa semakin terdorong mengejar interaksi digital dibandingkan prestasi akademik, menandai pergeseran orientasi yang patut dikritisi.

Ironi ini paling terasa di kalangan mahasiswa Ilmu Komunikasi. Media sosial memang menjadi objek dan medium kajian, tetapi tanpa literasi kritis yang kuat, ia justru menjauhkan mahasiswa dari substansi keilmuannya. Ketika mahasiswa lebih memilih menjadi content creator daripada critical communicator, analisis terhadap pesan, kekuasaan media, dan realitas sosial menjadi dangkal. Universitas pun berisiko kehilangan perannya sebagai produsen wacana kritis dan pemikiran alternatif.

Meski demikian, budaya konten tidak sepenuhnya harus diposisikan sebagai musuh. Persoalannya bukan pada kontennya, melainkan pada arah dan nilai yang melandasinya. Kampus perlu mengambil peran aktif dengan mengintegrasikan budaya konten ke dalam kerangka akademik yang ketat: mendorong produksi konten berbasis riset, memperkuat literasi digital kritis, serta menuntut kedalaman analisis dalam setiap bentuk ekspresi digital. Konten seharusnya menjadi medium penyebaran pengetahuan, bukan pengganti proses intelektual.

Pada akhirnya, masa depan kampus ditentukan oleh pilihan mahasiswanya. Budaya konten akan terus berkembang, tetapi budaya akademik tidak boleh dikorbankan. Jika kampus hanya menjadi panggung pertunjukan dan mahasiswa sekadar aktor pencari validasi, maka nalar kritis akan mati perlahan. Menjaga kualitas intelektual bukan sekadar tugas institusi, melainkan tanggung jawab etis setiap mahasiswa yang masih percaya bahwa ilmu pengetahuan lebih berharga daripada sekadar visibilitas.

Penulis: Nabila Tiara Hazari
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang. (*)

LAINNYA