OPINI | TD — Kesenjangan ekonomi adalah masalah besar yang tidak hanya berdampak pada perekonomian, tetapi juga menimbulkan ketegangan politik yang dapat mengancam stabilitas sosial. Riset terbaru dari Oxfam International menemukan bahwa 1% populasi orang terkaya dunia telah mengalami peningkatan kekayaan sebesar US$42 triliun atau setara Rp684.600 triliun (dengan asumsi kurs Rp16.302 per dolar AS) selama 10 tahun terakhir. Angka ini hampir 34 kali lipat lebih banyak dari 50% populasi global terbawah. Kekayaan bersih rata-rata kaum elit melonjak hampir US$400 ribu (Rp6,5 miliar) per orang, sementara separuh penduduk terbawah hanya memiliki rata-rata kekayaan sebesar US$335 (Rp5,4 juta).
Melansir dari CNN, Senin, 25 November 2024, Max Lawson, kepala kebijakan ketidaksetaraan Oxfam International, mengungkapkan, “Ketidaksetaraan telah mencapai tingkat yang tidak senonoh, dan hingga saat ini pemerintah telah gagal melindungi manusia dan planet ini dari dampak bencana.” Pernyataan ini mencerminkan bagaimana ketidakadilan ekonomi dapat memicu ketegangan sosial di seluruh dunia.
Situasi ini menciptakan jurang yang dalam antara kelas ekonomi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menunjukkan bahwa pada Maret 2024, persentase penduduk miskin di Indonesia turun menjadi 9,03%, menurun 0,33 persen poin dibandingkan Maret 2023. Meskipun jumlah penduduk miskin menurun menjadi 25,22 juta orang, kebutuhan untuk memastikan bahwa kekayaan didistribusikan secara adil tetap krusial. Jumlah penduduk miskin perkotaan saat ini adalah 11,64 juta orang, sedangkan di perdesaan mencapai 13,58 juta orang.
Masyarakat mulai terpolarisasi, dengan kelompok-kelompok yang berbeda saling berhadapan untuk memperjuangkan kepentingan mereka masing-masing. Politisi dan partai politik sering memanfaatkan ketidakpuasan ini, menawarkan solusi yang tampaknya mudah, tetapi sering kali bersifat populis dan tidak menyelesaikan akar masalah. Ketidakpuasan ini tidak hanya menjadi perasaan pribadi, tetapi juga bisa memicu aksi protes besar-besaran.
Ketika pemerintah tidak merespons tuntutan masyarakat dengan baik, kondisi bisa menjadi semakin buruk. Jika masyarakat merasa pemerintah tidak mampu atau tidak mau memperbaiki keadaan, kepercayaan mereka terhadap institusi politik bisa runtuh. Dalam situasi seperti ini, kelompok-kelompok radikal bisa muncul, menawarkan solusi otoriter yang berbahaya.
Kesenjangan ekonomi juga mengganggu stabilitas sosial. Ketika tingkat kemiskinan tinggi, masyarakat yang kurang beruntung sering kali merasa tidak didengar, terutama saat pemilu. Berdasarkan data BPS, pada Maret 2024, garis kemiskinan tercatat sebesar Rp582.932 per kapita per bulan, di mana komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp433.906 (74,44 persen) dan non-makanan sebesar Rp149.026 (25,56 persen). Mereka berharap pemilu menjadi kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Namun, jika hasil pemilu tidak sesuai harapan, kekecewaan bisa berubah menjadi protes atau bahkan kekerasan.
Lebih dari itu, dalam masyarakat yang memiliki banyak ketidakadilan, akses terhadap informasi, pendidikan, dan sumber daya lainnya menjadi tidak merata. Data dari UNESCO menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pendidikan di kalangan anak-anak dari keluarga miskin sering kali lebih rendah, yang meningkatkan ketidaksetaraan di masa depan. Jika pemilu tidak dijalankan secara adil dan transparan, masyarakat yang miskin akan merasa semakin terpinggirkan, yang memperburuk ketidakstabilan politik.
Pemerintah perlu melakukan reformasi perpajakan yang lebih progresif, di mana orang kaya membayar pajak lebih tinggi. Pendapatan dari pajak ini dapat digunakan untuk membiayai program-program sosial yang membantu kelompok masyarakat yang kurang mampu.
Membangun program yang fokus pada pemberdayaan ekonomi masyarakat, seperti pelatihan keterampilan, akses ke modal, dan dukungan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Ini akan membuka lebih banyak peluang kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Meningkatkan akses dan kualitas pendidikan, khususnya di daerah miskin. Program pelatihan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar juga harus diperkenalkan untuk membantu masyarakat mendapatkan pekerjaan yang layak.
Menyediakan akses layanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas bagi semua lapisan masyarakat. Kesehatan yang baik adalah fondasi untuk produktivitas yang lebih tinggi.
Mendorong dialog sosial antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk menciptakan kerjasama dalam mewujudkan keadilan sosial. Ini termasuk mendengarkan suara masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Memperkuat institusi demokrasi untuk memastikan pemilu yang adil dan transparan. Masyarakat perlu percaya bahwa sistem politik akan memberikan hasil yang adil bagi semua, bukan hanya untuk elit.
Memastikan bahwa pembangunan infrastruktur tidak hanya terfokus di daerah perkotaan, tetapi juga menjangkau daerah terpencil. Infrastruktur yang baik akan meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi.
Secara keseluruhan, kesenjangan ekonomi menciptakan rasa tidak puas yang bisa dimanfaatkan oleh elit politik. Ketidakadilan ini bukan hanya merusak kehidupan masyarakat, tetapi juga mengancam stabilitas politik. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk menangani masalah ini dengan serius dan menciptakan kebijakan yang adil dan inklusif, agar masyarakat bisa hidup dalam harmoni dan stabilitas terjaga.
Penulis: Muhammad Raffy Firdaus, Mahasiswa Prodi Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)