Kesalahan pada Pemilu Serentak: Antara Efisiensi Semu dan Beban Demokrasi

waktu baca 4 minutes
Jumat, 17 Okt 2025 20:41 0 Redaksi

OPINI | TD — Pemilu serentak yang awalnya dirancang untuk efisiensi justru menghadirkan tantangan baru bagi demokrasi Indonesia. Dari beban penyelenggara hingga tenggelamnya isu lokal, pengalaman pelaksanaan pemilu serentak menunjukkan bahwa efisiensi tidak selalu sejalan dengan kualitas demokrasi. Revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) kini menjadi momentum penting untuk memperbaiki sistem yang selama ini dianggap tidak manusiawi dan tidak efektif.

Latar Belakang Revisi dan Putusan MK

Pada 26 Juni 2025, DPR dan pemerintah kembali membahas revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024. Putusan ini menegaskan bahwa mulai 2029, penyelenggaraan Pemilu nasional (Presiden, DPR, DPD) dan Pemilu daerah (Gubernur, Bupati/Wali Kota, DPRD) harus dipisahkan. Artinya, model “pemilu lima kotak” yang selama ini dijalankan tidak lagi dianggap konstitusional.

Keputusan tersebut menjadi titik balik dalam perjalanan demokrasi elektoral Indonesia. MK menilai bahwa penyatuan seluruh pemilihan dalam satu waktu telah menimbulkan berbagai masalah struktural dan teknis. Efisiensi yang diharapkan justru melahirkan beban berat bagi penyelenggara dan kebingungan bagi pemilih.

1. Beban Penyelenggara yang Terlalu Berat

Salah satu kesalahan paling mendasar dari pemilu serentak adalah beban kerja yang tak sebanding dengan kapasitas manusia. Dalam satu waktu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus mengelola lima jenis pemilihan sekaligus—mulai dari presiden hingga DPRD kabupaten/kota.

Akibatnya, ribuan petugas kelelahan bahkan meninggal dunia dalam Pemilu 2019 dan 2024. MK menilai hal ini bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pemilu yang efisien, efektif, dan manusiawi. Demokrasi seharusnya memperkuat rakyat, bukan mengorbankan nyawa mereka.

2. Isu Lokal Tenggelam oleh Narasi Nasional

Pemilu serentak juga mengakibatkan isu-isu daerah tersisih oleh dominasi isu nasional. Kampanye kepala daerah dan calon legislatif lokal sering tidak mendapat ruang karena perhatian publik lebih tertuju pada kontestasi presiden.

Dalam pertimbangannya, MK menyebut fenomena ini sebagai bentuk “penenggelaman isu lokal oleh arus nasional”. Padahal, pembangunan daerah adalah fondasi kesejahteraan nasional. Pemisahan pemilu nasional dan lokal menjadi penting untuk menjaga keseimbangan demokrasi di semua tingkatan.

3. Lemahnya Kaderisasi dan Pragmatisme Partai Politik

Sistem pemilu serentak menuntut partai menyiapkan banyak calon dalam waktu bersamaan. Proses kaderisasi menjadi terburu-buru dan dangkal. Akibatnya, partai lebih memilih calon populer atau bermodal besar daripada yang berkompeten.

Dampaknya fatal: partai kehilangan peran sebagai lembaga pendidikan politik. Revisi UU Pemilu 2025 diharapkan mampu memperbaiki mekanisme rekrutmen dan kaderisasi politik agar berbasis kompetensi dan integritas, bukan sekadar popularitas.

4. Kebingungan dan Kejenuhan Pemilih

Pemilih dihadapkan pada lima surat suara dengan puluhan nama dan lambang partai. Bagi sebagian besar masyarakat, terutama di daerah pedesaan, situasi ini membingungkan dan melelahkan.

Akibatnya, tingkat kesalahan pencoblosan meningkat, begitu juga angka golput. Pemisahan jadwal pemilu diyakini dapat memberikan ruang bagi masyarakat untuk memahami isu dan calon secara lebih mendalam, sehingga kualitas partisipasi meningkat.

5. Politik Uang dan Dominasi Modal Besar

Pemilu serentak memerlukan biaya kampanye yang sangat besar. Hal ini membuka ruang bagi politik uang dan memperkuat dominasi kelompok bermodal besar.

Menurut laporan Indonesia.go.id (2025), revisi UU Pemilu menyoroti pentingnya pembatasan dana kampanye serta pengawasan ketat terhadap sumber dan alokasi dana. Politik uang tidak hanya mencederai keadilan pemilu, tetapi juga menggerogoti legitimasi hasilnya. Ketika uang menjadi penentu, suara rakyat kehilangan maknanya.

6. Sengketa dan Ketidakpastian Hukum

Pemilu serentak kerap menimbulkan sengketa hasil di berbagai tingkatan. Karena dilaksanakan bersamaan, satu sengketa bisa memengaruhi proses di pemilihan lain. DPR melalui Komisi II kini tengah membahas tata kelola penyelesaian sengketa agar lebih cepat dan tidak tumpang-tindih.

Penyelenggaraan pemilu yang serentak terbukti menambah kompleksitas hukum, bukan menyederhanakannya. Efisiensi politik justru menciptakan ketidakpastian hukum.

7. Efisiensi yang Semu dan Anggaran yang Membengkak

Salah satu alasan utama penerapan pemilu serentak adalah efisiensi biaya. Namun, fakta menunjukkan sebaliknya. Data KPU mencatat bahwa Pemilu 2024 menelan biaya lebih dari Rp76 triliun, dan jumlah ini berpotensi meningkat tanpa adanya pembenahan sistemik.

Logistik yang rumit, distribusi yang luas, dan kebutuhan petugas yang besar justru menambah beban negara. Efisiensi yang dijanjikan berubah menjadi ilusi yang mahal.

Refleksi: Arah Baru Demokrasi Elektoral

Revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada bukan sekadar urusan teknis, tetapi momentum untuk memperbaiki kualitas demokrasi. Kesalahan dalam pelaksanaan pemilu serentak menjadi pelajaran penting bahwa demokrasi tidak bisa dibangun hanya atas dasar efisiensi, tetapi juga harus menjunjung keadilan, integritas, dan partisipasi rakyat.

Pemerintah, penyelenggara pemilu, dan masyarakat perlu berkolaborasi dalam menyusun sistem pemilu yang lebih manusiawi, transparan, dan representatif. Demokrasi yang sehat tidak diukur dari cepatnya proses pemilihan, tetapi dari seberapa adil, jujur, dan bermaknanya suara rakyat dalam menentukan masa depan bangsa.

Penulis : Nabila Khaalisah Safitri
Mahasiswi Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Agung Tirtayasa. (*)

LAINNYA