TANGERANG | TD – Perkembangan kesadaran akan perubahan iklim menghasilkan tindakan-tindakan pengendalian iklim. Untuk mengendalikan perubahan iklim, tidak ada negara yang dapat melakukannya sendiri. Semuanya membutuhkan kerja sama dan komitmen untuk terus menerus memperbarui target-target agar emisi karbon dapat ditekan, kenaikan suhu global menjadi semakin lambat, dan kehidupan di muka bumi lebih bertahan lama.
Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC) adalah salah satu bentuk kesepakatan dan kerja sama tersebut. Dan selanjutnya disebut Konvensi Perubahan Iklim.
Konvensi Perubahan Iklim dihasilkan pada Konferernsi Tingkat Tinggi di Rio de Janeiro, Brazil, tahun 1992, di bawah PBB.
Konvensi tersebut menggolongkan negara-negara di dunia menjadi 2. Pertama, Negara Annex I, yakni negara penyumang emisi gas rumah kaca sejak revolusi Industri. Kedua, Negara Non-Annex I, yakni negara yang tidak termasuk dalam Annex I dan penyumbang emisi gas rumah kaca yang jauh lebih sedikit namun dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.
Sebagai negara Non-Annex I, Indonesia wajib dan memiliki hak untuk memanfaatkan berbagai dukungan yang ditawarkan oleh UNFCCC untuk turut menurunkan emisi gas rumah kaca. Karena itulah Indonesia sering menerima dana dari anggota UNFCCC yang merupakan negara maju. Bantuan tersebut digunakan untuk menurunkan emisi karbon, dan juga memantik penemuan teknologi energi baru terbarukan.
Protokol Kyoto kemudian ditetapkan dan efektif mulai tahun 1998 hingga 2012. Indonesia juga ikut meratifikasinya, dan melaksanakan salah satu mekanisme dalam Protokol Kyoto, yakni Clean Development Mechanism (CDM).
Pembaruan komitmen dalam pengendalian perubahan iklim terus dilakukan. Pada COP 21 tahun 2015 yang diadakan di Paris, dihasilkan konsensus Paris Agreement atau Perjanjian Paris yang mencerminkan kesetaraan dan prinsip tanggung jawab bersama sesuai kapabilitas masing-masing negara yang menyetujuinya.
Perjanjian Paris bertujuan menekan peningkatan temperatur hingga 2 derajat Celsius, meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim, mengutamakan pembangunan rendah emisi, mempertahankan kemampuan produksi pangan, dan menyiapkan pendanaan untuk pembangunan rendah emisi dan berketahanan iklim.
Seiring dengan penyebarluasan pengetahuan tentang iklim, generasi Z, atau anak-anak yang lahir setelah 1997, semakin menyadari pentingnya menghilangkan sumber-sumber polutan yang membuat bumi semakin panas dan kehidupan manusia semakin sulit.
Beberapa anak yang mempunyai kesadaran iklim menonjol dan memiliki pengaruh tersebut, antara lain:
1. Greta Thunberg
Greta Thunberg berasal dari Swedia. Ia memperoleh kesadaran iklim pada usia 8 tahun saat melihat tayangan para pembuat kebijakan gagal mendiskusikan krisis iklim.
Pada usia 15 tahun, Greta memulai pemogokan sekolah yang pertama kali. Ia duduk di depan gedung parlemen Swedia pada hari Jumat untuk menyampaikan kritiknya terkait iklim.
“Fridays for Future” merupakan gerakan massal para remaja yang terinspirasi oleh aksi Greta.
Ia kemudian berkesempatan untuk berbicara pada COP 25 dan disebut sebagai orang paling berpengaruh dalam versi Majalah Time.
Tetapi terhadap pertemuan COP 27, Greta memutuskan untuk tidak hadir dan menganggap pertemuan tersebut hanyalah alat untuk “greenwashing” bagi negara-negara yang masih ingin menggunakan bahan bakar fosil untuk memperkaya diri. Greenwashing adalah istilah untuk memberikan sebuah instansi penampilan yang peduli iklim, padahal mereka melakukan yang sebaliknya.
2. Vanessa Nakate
Vanessa Nakate berasal Uganda. Vanessa memulai aksinya terinspirasi Greta Thunberg pada 2018. Dalam aksinya, Vanessa mewakili kaum muda dan yang terpinggirkan.
Negara Uganda tempat ia berasal mengalami pola cuaca yang buruk selama beberapa waktu terakhir, seperti kekeringan berkepanjangan, tanah longsor, dan banjir yang semakin besar. Hal tersebut merupakan hasil dari perubahan iklim.
Vanessa menyadari pola cuaca buruk dan bencana alam yang berasal dari perubahan iklim dan pemanasan global membuat panen hancur dan kemiskinan semakin luas.
Pada 2022, Vanessa menjadi duta UNICEF dan menyuarakan kepentingan kaum marginal dalam perubahan iklim. Ia mengajukan tiga poin untuk diperhatikan: dukungan negara kaya kepada negara miskin untuk menghadapi krisis pangan akibat perubahan iklim, mengurangi emisi karbon, dan membangun ketahanan terhadap iklim.
Pengurangan emisi karbon, kata Vanessa, merupakan satu-satunya langkah jangka panjang untuk mengatasi perubahan iklim.
Ketahanan terhadap iklim, lanjutnya, harus dibangun dengan memperkuat sistem pangan, dan melindungi inkusifitas dan keberlanjutan budidaya tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
3. Salsabila Khairunisa
Salsabila Khairunisa berasal dari Indonesia. Ia mengadakan aksi mogok sekolah pertamanya pada usia 17 tahun pada 2020. Meskipun terinspirasi oleh Greta Thunberg, tetapi ia mempunyai cerita yang lain dari Greta.
Salsabila melakukan aksi mogoknya untuk pelestarian hutan. Ia berdemo setiap Jumat di depan kantor Menteri Lingkungan Hidup. Ia juga mengembangkan platform “Jaga Rimba” untuk mengedukasi siapa saja yang berkeinginan mengetahui tentang pelestarian hutan.
Dalam aksi “Jeda Iklim” yang ia adakan bersama ratusan remaja lain, Salsabila bahkan menyuarakan kepentingan masyarakat adat dan hutan adat.
Selain aksi, Salsabila juga selalu mengadakan audiensi kepada pihak-pihak terkait tentang perjuangannya. Hal inilah yang membawa pengaruh bagi gerakannya untuk lebih didengar mereka yang memangku kebijakan. ***