Kepala Desa: Pelaksana Proyek atau Pemimpin Masyarakat?

waktu baca 4 minutes
Selasa, 8 Apr 2025 19:16 0 Redaksi

OPINI | TD — Kita semua sepakat bahwa desa telah ada jauh sebelum negara terbentuk. Sejarah desa telah melintasi berbagai era, mulai dari kerajaan, kolonialisme, hingga masa kemerdekaan. Oleh karena itu, adalah hal yang wajar jika negara memberikan penghormatan yang tinggi kepada desa.

Desa yang telah ada sejak zaman kerajaan sering disebut oleh para ahli sebagai komunitas yang mengatur dirinya sendiri (self governing community). Ada juga yang menyebutnya sebagai pemerintah lokal (local self government) yang memiliki otonomi dalam mengelola urusan lokal. Setelah mengalami penekanan selama masa kolonial Belanda, Jepang, dan rezim Orde Baru, desa kini diakui kembali melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. UU ini dianggap memberikan kekuatan hibrida kepada desa, menggabungkan konsep komunitas yang mandiri dan pemerintah lokal.

Kehadiran UU Desa disambut dengan antusiasme. Banyak pihak optimis bahwa UU ini akan mendorong kemajuan dan perkembangan desa. Dalam UU tersebut, terdapat prinsip rekognisi dan subsidiaritas. Sutoro Eko, dalam bukunya “Desa Membangun Indonesia” (2014), berpendapat bahwa UU Desa adalah langkah awal bagi desa untuk meraih kemerdekaannya. Sutoro, yang juga terlibat dalam penyusunan RUU Desa, menyatakan bahwa lahirnya UU ini adalah kabar baik bagi masyarakat yang menginginkan perubahan di desa.

Namun, tidak sedikit pula kritik yang muncul terhadap UU Desa. Hanif Nurcholis, dalam bukunya “Pemerintah Desa Nagari Gampong Marga dan Sejenisnya: Pemerintah Tidak Langsung Warisan Kolonial yang Inkonstitusional,” mengkritik rumusan UU Desa secara mendalam. Ia berargumen bahwa UU Desa menempatkan pemerintah desa dalam posisi yang tidak jelas, bahkan menyebutnya sebagai pemerintahan semu atau palsu. Hanif menegaskan bahwa Pasal 1 hingga Pasal 95 UU Desa bersifat inkonstitusional.

Perbedaan pandangan di antara para ahli ini didasarkan pada argumen yang kuat dan kajian ilmiah. Namun, baik Sutoro maupun Hanif sepakat bahwa hingga saat ini, desa belum sepenuhnya merdeka.

Hanif menjelaskan bahwa desa merupakan badan hukum sosial politik yang dibentuk oleh negara, sehingga ketidakmerdekaan desa merupakan akibat dari struktur UU Desa itu sendiri. Sementara itu, Sutoro berpendapat bahwa kemerdekaan desa tereduksi oleh banyaknya aturan turunan dari UU Desa yang mengurangi kewenangan desa.

UU Desa memberikan kewenangan kepada desa untuk mengatur dirinya sendiri dengan jelas, melalui prinsip rekognisi dan subsidiaritas. Namun, berbagai peraturan turunan, mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) hingga Peraturan Menteri (Permen), serta regulasi dari pemerintah daerah, sering kali merusak kemerdekaan desa.

Pemerintah desa berfungsi seperti badan hukum yang mirip dengan perusahaan konstruksi. Mereka sering kali menjadi pelaksana proyek-proyek yang direncanakan di tingkat kota tanpa melibatkan desa. Banyak proyek yang ditugaskan kepada desa tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Banyaknya aturan ini membuat pemerintah desa kesulitan. Dengan sumber daya manusia yang terbatas, mereka terpaksa menyesuaikan diri dengan berbagai regulasi yang kadang tidak saling mendukung. Sutoro mencatat bahwa negara, yang seharusnya memberikan pengakuan kepada desa, malah lebih banyak mengatur dan mengendalikan melalui birokratisasi.

Contoh konkret dari masalah ini terlihat dalam PP 60/2014, yang mengubah makna dana desa menjadi program pemerintah. Hal ini menciptakan celah bagi pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkan dana desa. Menurut Ari Surida dalam jurnal “Menghadirkan Pemerintahan untuk Warga” (2022), PP tersebut mengubah peran kepala desa dari pemimpin masyarakat menjadi kepala proyek yang terjebak dalam urusan administrasi keuangan.

Institusi negara yang mengurus desa juga terfragmentasi. Ada Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri, serta kementerian lain yang dapat masuk ke desa, seperti Bappenas, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pertanian. Akibatnya, desa menjadi titik pertemuan berbagai kepentingan dan ambisi politik.

Desa yang dianggap memiliki banyak dana sering kali ditugasi program oleh kementerian atau kepala daerah. Program-program seperti Sustainable Development Goals (SDGs) menjadi wajib dilaksanakan oleh desa, meskipun relevansinya dengan kebutuhan masyarakat tidak selalu jelas. Akibatnya, dana desa lebih banyak digunakan untuk kepentingan kementerian daripada untuk masyarakat.

Program-program lain, seperti ketahanan pangan dan bantuan langsung tunai, juga menjadi beban tambahan bagi desa. Banyak program yang diwajibkan oleh pemerintah daerah, yang sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan lokal. Semua ini membuat anggaran desa terserap untuk membiayai program-program yang tidak selalu bermanfaat bagi masyarakat.

Ironisnya, tidak ada evaluasi yang memadai terhadap program-program tersebut. Banyak program yang dilaksanakan hanya untuk memenuhi kewajiban administratif, tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi masyarakat. Kepala desa sering kali terpaksa melaksanakan program yang tidak relevan, hanya untuk memenuhi tuntutan dari pemerintah atasan.

Dengan kondisi ini, kepala desa berfungsi lebih sebagai pelaksana ketimbang perencana. Mereka tidak memiliki kebebasan untuk merancang program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, karena terikat oleh kewajiban yang ditetapkan oleh pemerintah.

Intervensi pemerintah pusat terhadap desa sudah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Ke depan, bisa saja ada kewajiban bagi desa untuk membangun infrastruktur yang tidak diperlukan. Hal ini menunjukkan bahwa kepala desa lebih berperan sebagai kontraktor yang melaksanakan proyek-proyek yang ditetapkan oleh pemerintah.

Pemerintah pusat seharusnya menyadari bahwa kepala desa bukanlah kontraktor, melainkan pelayan masyarakat. Negara harus menghentikan intervensi yang berlebihan dan lebih fokus pada pembinaan desa. Dengan demikian, tujuan UU Desa untuk menciptakan desa yang mandiri dan berdaya dapat tercapai, dan kepala desa dapat berfungsi sebagai pelayan masyarakat, bukan sekadar pelaksana proyek pemerintah.

Penulis: Ahmad Romdoni, Sekjen Cangkudu Progressive Movement. (*)

LAINNYA