KESEHATAN | TD — Beberapa tahun terakhir, tren pola makan tinggi protein semakin populer. Banyak orang percaya bahwa semakin tinggi asupan protein, semakin sehat tubuhnya. Mulai dari menu “high protein” di restoran, susu tinggi protein, hingga suplemen gym, semua berlomba menonjolkan kandungan protein di labelnya. Padahal, kelebihan protein justru bisa membuat tubuh kewalahan, terutama jika kualitas proteinnya tidak diperhatikan.
Protein memiliki peran vital bagi tubuh: membentuk otot, kulit, rambut, hormon, dan enzim. Kekurangan protein dapat menghambat pertumbuhan, menurunkan daya tahan tubuh, hingga menyebabkan kehilangan massa otot. Namun, lebih banyak protein tidak selalu lebih baik.
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2020), kebutuhan protein rata-rata orang dewasa adalah 60–65 gram per hari. FAO/WHO (2013) menyarankan konsumsi sekitar 0,8–1,0 gram per kilogram berat badan per hari. Artinya, orang dengan berat 60 kg hanya membutuhkan sekitar 48–60 gram protein per hari—setara dua butir telur, satu potong dada ayam, dan segelas susu.
Masalah muncul ketika pola makan modern sering jauh melebihi angka tersebut karena tren diet dan pemasaran produk tinggi protein. Akibatnya, tubuh mendapat beban yang tidak perlu.
Protein dipecah menjadi asam amino yang digunakan tubuh untuk membangun dan memperbaiki jaringan. Tubuh tidak dapat menyimpan protein seperti lemak atau karbohidrat. Kelebihan protein diubah menjadi energi atau disimpan sebagai lemak, menghasilkan limbah nitrogen yang harus dibuang oleh ginjal dan hati.
Diet tinggi protein (>2 g/kg berat badan/hari) dapat meningkatkan produksi urea dan ekskresi kalsium, memperberat kerja ginjal, terutama bagi orang dengan fungsi ginjal menurun. Selain itu, pola makan tinggi protein sering rendah serat karena sayur dan buah dikurangi, sehingga berisiko konstipasi, gangguan pencernaan, dan ketidakseimbangan mikrobiota usus.
Tidak semua protein sama manfaatnya. Ada beberapa metode untuk menilai kualitas protein:
Kelebihan protein sering terjadi karena sumbernya kurang tepat. Makanan olahan tinggi protein bisa tinggi natrium, lemak jenuh, atau bahan tambahan berbahaya. Suplemen murah kadang memiliki asam amino tidak lengkap. Tubuh bekerja keras memproses protein yang tidak sepenuhnya dimanfaatkan, sehingga manfaat kesehatannya minim.
Tren makanan tinggi protein bisa bermanfaat, tetapi juga menimbulkan risiko jika tidak dipahami dengan benar. Evaluasi nilai gizi pangan membantu menilai bukan hanya jumlah, tapi juga kualitas dan efisiensi zat gizi yang masuk ke tubuh.
Kesehatan tidak ditentukan oleh seberapa banyak protein yang dikonsumsi, melainkan seberapa baik tubuh memanfaatkannya. Sebelum bangga dengan diet tinggi protein, tanyakan: apakah tubuhmu benar-benar membutuhkannya, dan apakah sumber proteinnya berkualitas? Karena pada akhirnya, yang membuat tubuh kuat bukan protein paling banyak, tapi protein paling tepat.
1. Kementerian Kesehatan RI. (2020). Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Masyarakat Indonesia.
2. FAO/WHO. (2013). Protein Quality Evaluation in Human Nutrition.
Friedman, A. N. (2019). High-Protein Diets: Potential Effects on the Kidney in Healthy Individuals. American Journal of Kidney Diseases.
Penulis: Rulla Agnia Naura Aisyah, Mahasiswa Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)