Ilustrasi dibuat menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) oleh penulis.OPINI | TD — Demokrasi, dalam idealnya, adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun di Indonesia, kenyataan itu kian menjauh. Politik kini seolah hanya milik mereka yang punya uang, bukan milik mereka yang punya gagasan.
Kekayaan menjadi tiket menuju kekuasaan, sementara suara rakyat hanya dijadikan alat legitimasi. Demokrasi pun pelan-pelan dibelokkan—dari wadah perjuangan menjadi arena dagang kepentingan.
Menurut World Inequality Database (2023), satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai hampir setengah kekayaan nasional. Angka ini bukan sekadar statistik, tapi cermin ketimpangan yang nyata.
Ketimpangan ekonomi itu kini menjalar ke ranah politik. Partai-partai membutuhkan dana besar untuk operasional dan kampanye, membuat pemilik modal besar punya posisi tawar tinggi.
Mereka bukan hanya menjadi penyokong dana, tetapi juga penentu arah kebijakan. Politik pun kehilangan idealismenya—berpihak pada uang, bukan pada rakyat.
Jeffrey A. Winters, ilmuwan politik asal AS, pernah menyebut gejala ini sebagai oligarki—kekuasaan yang dijalankan oleh segelintir elite ekonomi. Dan Indonesia adalah salah satu contoh nyatanya.
Dalam laporan Kompas (2023), biaya untuk menjadi calon anggota DPR bisa mencapai miliaran rupiah. Akibatnya, politik tak lagi menjadi “pertarungan ide”, tetapi “pertarungan modal”.
Calon dengan kapasitas besar tapi kantong tipis hampir mustahil bersaing. Sementara mereka yang punya dukungan finansial besar bisa membeli ruang pengaruh. Inilah wajah demokrasi kita hari ini—di mana uang berbicara lebih keras daripada nurani.
Ketika kekuasaan diraih lewat uang, maka kebijakan pun mudah diarahkan pada kepentingan pemodal.
Laporan Bappenas (2023) menunjukkan bahwa insentif pajak dan fasilitas ekonomi lebih banyak dinikmati kelompok menengah atas. Sementara masyarakat kecil masih bergantung pada bantuan sosial yang sering kali tak tepat sasaran.
Lingkaran ketimpangan itu terus berulang: yang kaya semakin dilindungi, yang miskin semakin tertinggal. Akibatnya, rakyat hanya menjadi penonton dari panggung politik yang seharusnya mereka miliki.
Dalam demokrasi semu seperti ini, rakyat kehilangan makna sejatinya. Mereka hadir setiap lima tahun sekali untuk mencoblos, lalu dilupakan setelah pesta demokrasi usai.
Janji ditebar, amplop dibagi, suara dibeli—begitulah siklusnya. Tak heran jika kepercayaan publik terhadap lembaga politik terus menurun. Banyak warga kini memilih diam, bukan karena tak peduli, tapi karena merasa tak punya pengaruh.
Padahal, demokrasi sejati hanya bisa hidup jika rakyat menjadi subjek kekuasaan, bukan sekadar objek manipulasi.
Meski kelam, harapan belum mati. Gerakan sosial, mahasiswa, jurnalis independen, hingga organisasi masyarakat sipil kini mulai menuntut perubahan. Mereka berjuang mengembalikan politik pada nilai dasarnya: kejujuran, keadilan, dan keberpihakan pada rakyat.
Kritik terhadap dominasi orang kaya bukan berarti menolak keberhasilan ekonomi, melainkan menegaskan bahwa kekayaan tidak boleh menjadi alat untuk membeli kekuasaan.
Kita butuh politik yang etis—yang menempatkan moral di atas modal, dan kepentingan rakyat di atas keuntungan pribadi.
Pancasila sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, seharusnya menjadi arah baru bagi politik kita.
Negara wajib memastikan distribusi kekuasaan dan kekayaan yang lebih merata, agar rakyat kecil tidak hanya menjadi penonton dalam pembangunan.
Selama uang masih menjadi ukuran utama dalam perebutan kekuasaan, demokrasi akan tetap rapuh. Tapi jika kesadaran publik tumbuh—bahwa politik adalah tanggung jawab moral, bukan transaksi ekonomi—maka pintu menuju demokrasi sejati akan terbuka.
Kita harus berani bersuara: kekayaan tidak boleh menguasai politik. Negara ini tidak boleh dibiarkan dikendalikan segelintir elite yang memonopoli kebijakan demi kepentingan pribadi.
Demokrasi sejati lahir bukan dari besarnya modal, tapi dari keberanian moral rakyat menuntut keadilan.
Kekuasaan sejati bukan milik mereka yang memiliki segalanya, tetapi milik mereka yang berani memperjuangkan kebenaran di atas segalanya.
Penulis: Rafli Fahreza
Mahasiswa Semester 1, Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNTIRTA. (*)