Kasus Mas Menteri dan Masa Depan Pendidikan Indonesia: Antara Harapan Digital dan Krisis Integritas

waktu baca 4 minutes
Jumat, 17 Okt 2025 22:42 0 Nazwa

OPINI | TD — Kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook yang menyeret mantan Mendikbudristek, sosok yang dikenal sebagai Mas Menteri, menjadi pukulan berat bagi dunia pendidikan Indonesia. Di balik jargon “digitalisasi sekolah” dan “Merdeka Belajar”, terselip ironi: program yang diharapkan membawa kemajuan justru tersandung masalah korupsi. Apa yang sebenarnya salah dalam sistem pendidikan kita?

Awal Harapan dan Jebakan Digitalisasi

Ketika Mas Menteri pertama kali menjabat, ia datang membawa semangat baru. Latar belakangnya dari dunia teknologi menumbuhkan harapan bahwa pendidikan Indonesia akan mampu beradaptasi dengan tuntutan abad ke-21. Program seperti digitalisasi sekolah, penyederhanaan kurikulum, dan otonomi guru menjadi simbol perubahan.

Salah satu proyek ambisiusnya adalah pengadaan laptop Chromebook untuk sekolah di seluruh Indonesia. Tujuannya jelas: memastikan pemerataan akses teknologi agar setiap anak siap menghadapi masa depan digital. Namun, seiring berjalannya waktu, aroma penyimpangan muncul. Program yang seharusnya menjadi langkah maju kini justru menimbulkan kecurigaan publik, setelah muncul dugaan mark-up harga dan kolusi dalam proses pengadaan.

Tiga Akar Masalah di Balik Korupsi Pendidikan

Kasus ini memperlihatkan bahwa masalah utama pendidikan Indonesia tidak hanya terletak pada kebijakan, tetapi juga pada sistem birokrasi yang rapuh. Setidaknya ada tiga akar persoalan besar:

1. Anggaran Besar, Pengawasan Lemah

Sektor pendidikan mendapatkan porsi 20% dari APBN—jumlah yang sangat besar, namun juga sangat rentan terhadap korupsi. Proyek Chromebook menunjukkan bahwa sistem pengadaan masih belum transparan. Reformasi kebijakan yang seharusnya berfokus pada peningkatan kualitas belajar malah tersandera oleh permainan anggaran. Reformasi pedagogi tidak pernah diiringi dengan reformasi tata kelola yang bersih.

2. Kesenjangan Implementasi di Lapangan

Sementara sekolah-sekolah di perkotaan sudah menerima perangkat digital, sekolah di daerah 3T masih kesulitan listrik dan internet. Banyak laptop akhirnya tidak digunakan karena kurangnya pelatihan guru dan infrastruktur pendukung. Alih-alih memperkecil kesenjangan, proyek digitalisasi justru memperlebar jurang ketimpangan antarwilayah.

3. Runtuhnya Kepercayaan Publik

Ketika seorang menteri reformis terseret kasus korupsi, dampaknya jauh lebih luas dari sekadar kerugian finansial. Publik kehilangan kepercayaan. Pertanyaan muncul: apakah setiap program pendidikan hanyalah kedok proyek pengadaan? Kepercayaan yang rusak inilah yang paling sulit dipulihkan, bahkan setelah uang negara dikembalikan.

Membongkar Asumsi yang Keliru

Dalam hiruk-pikuk opini publik, sering muncul dua asumsi yang justru menyesatkan:

Asumsi 1: “Karena ada korupsi, berarti program Merdeka Belajar gagal total.”

Faktanya, korupsi adalah masalah tata kelola, bukan filosofi pendidikan. Secara substansi, Merdeka Belajar adalah langkah maju untuk menumbuhkan siswa yang kritis dan adaptif. Menolak seluruh gagasan ini hanya karena satu kasus korupsi sama saja dengan menghentikan reformasi demi memuaskan kemarahan sesaat.

Asumsi 2: “Menteri dari sektor swasta pasti lebih bersih.”

Kasus ini membantah mitos tersebut. Pengalaman di dunia teknologi tidak otomatis menjamin integritas dalam birokrasi publik. Tanpa pengawasan dan transparansi, kecepatan kerja ala startup justru bisa membuka peluang penyimpangan baru.

Suara Skeptis: Fokus pada Sistem, Bukan Sekadar Kasus

Seorang pengamat skeptis mungkin akan berkata:

Jangan hanya fokus pada laptop yang dikorupsi, tapi lihat sistem yang memungkinkan korupsi itu terjadi.

Masalah pendidikan kita terlalu lama berputar pada proyek, bukan substansi. Ribuan guru honorer masih bergaji rendah, pelatihan terbatas, dan fasilitas pendidikan dasar banyak yang tertinggal. Sementara itu, triliunan rupiah dihabiskan untuk perangkat keras yang belum tentu berguna.

Solusinya bukan menghentikan digitalisasi, melainkan memastikan setiap rupiah digunakan secara akuntabel. Pengadaan harus diaudit secara terbuka, dan laporan anggaran harus bisa diakses publik. Tanpa transparansi, reformasi hanyalah ilusi.

Refleksi: Mengembalikan Arah Pendidikan ke Jalur Integritas

Masa depan pendidikan Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Kasus Mas Menteri harus menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola, bukan alasan untuk berhenti berinovasi.

Reformasi sejati bukan diukur dari berapa banyak laptop dibagikan, melainkan dari seberapa besar kemampuan literasi dan karakter jujur tumbuh di diri siswa. Integritas, pemerataan, dan kualitas guru harus menjadi prioritas utama.

Jika kasus ini ditangani secara adil dan dijadikan pelajaran, Indonesia bisa bangkit dari krisis moral ini. Tetapi jika tidak, pendidikan akan terus menjadi lahan empuk bagi korupsi, dan cita-cita Merdeka Belajar akan terkubur bersama hilangnya kepercayaan publik.

Penulis: Sania Hasy
Mahasiswa Semester 1, Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA). (*)

LAINNYA