OPINI | TD – Desa Tanara mungkin tak akrab di telinga sebagian orang. Tapi wilayah di pesisir utara Banten ini adalah tanah kelahiran Syekh Nawawi Al-Bantani, ulama besar Nusantara yang karyanya dikaji hingga Timur Tengah. Ironisnya, hari ini warisan spiritual itu pelan-pelan digeser oleh bayang-bayang kapitalisme, proyek reklamasi, dan relasi kuasa yang meminggirkan masyarakat. Penelitian lapangan saya di Tanara menunjukkan bahwa budaya politik parokial dan pola patron-klien telah menghambat masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak agraria serta keberlanjutan ekologi.
Kapitalisme adalah sistem ekonomi-politik, di mana alat produksi (tanah, modal, industri) dimiliki oleh individu atau kelompok swasta. Dan, keuntungan menjadi dorongan utama aktivitas ekonomi. Dalam politik, kapitalisme beroperasi tak hanya sebagai sistem ekonomi, tapi juga sebagai kekuatan struktural yang mempengaruhi relasi kuasa, kebijakan, dan representasi rakyat.
Gramsci menyatakan bahwa kapitalisme tidak hanya mengontrol ekonomi, tetapi juga menyebarkan ideologi dominan yang membuat rakyat merasa bahwa ketimpangan adalah hal wajar. Dalam konteks ini, rakyat tidak melawan karena tidak sadar sedang dieksploitasi.
Dalam wawancara dengan warga, tokoh lokal, jurnalis, dan akademisi, saya mendapati bahwa dominasi kekuasaan modal telah membentuk skema politik yang tidak partisipatif. Masyarakat hanya “cukup tahu” isu yang beredar, tapi tak punya ruang untuk memengaruhinya. Ini ciri dari budaya politik parokial menurut teori Gabriel Almond dan Sidney Verba.
“Mereka anggap politik itu urusan elite,” kata Pak Wawang, tokoh lokal yang kerap menjadi jembatan aspirasi warga. Budaya politik parokial di Tanara bukan sekadar soal pasifnya warga, tapi tentang struktur kekuasaan yang sengaja dibiarkan timpang. Maka melawan kapitalisme berarti mengembalikan politik pada nilaipada rakyat.
Menurut Gabriel Almond dan Sidney Verba dalam The Civic Culture (1963), budaya politik parokial adalah tipe budaya politik di mana individu atau kelompok dalam masyarakat tidak memiliki kesadaran atau keterlibatan terhadap sistem politik secara luas. Masyarakat dalam tipe ini cenderung pasif, tidak menaruh harapan pada pemerintah, dan tidak merasa dirinya sebagai bagian dari proses politik. Ketika budaya politik parokial mendominasi, masyarakat menjadi tanpa daya dan bergantung pada figur-figur yang dianggap berpengaruh seperti tokoh lokal, elite politik, atau penguasa.
Kondisi ini melahirkan siklus patron-klien, yakni pola hubungan sosial-politik yang bersifat hierarkis dan tidak setara, di mana patron (elite) memberikan perlindungan, bantuan, atau imbalan kepada klien (warga) sebagai balas jasa atas loyalitas atau dukungan politik.
Implikasi dari budaya politik parokial yang mengakar tampak jelas pada warga Tanara, Kabupaten Serang, sebagaimana ditemukan dalam mini riset ini. Mayoritas masyarakat menunjukkan sikap pasif, apatis, dan menyerahkan urusan politik pada elite lokal, tanpa keterlibatan aktif dalam proses pengambilan keputusan.
Ketika ditanya soal proyek reklamasi dan harga jual tanah, warga seperti Eza hanya menyampaikan bahwa mereka “cuma cukup tahu aja”, menandakan tidak adanya kesadaran kolektif untuk melawan atau bahkan berdiskusi kritis.
Kondisi ini mendorong terbentuknya siklus patron-klien yang berulang: pengembang dan pemerintah (patron) memanfaatkan tokoh lokal (klien I) untuk menyampaikan kebijakan atau tawaran kompensasi kepada masyarakat (klien II) yang tidak memiliki daya tawar. Karena tekanan ekonomi dan kurangnya pendidikan politik, warga cenderung menyetujui kebijakan tersebut secara pasif, bahkan ketika tanah yang dijual memiliki nilai sejarah dan ekologis penting.
Dalam skema ini, partisipasi masyarakat hanyalah simbolik tanpa ruang deliberasi yang adil dan transparan. Dengan tidak adanya forum politik rakyat, lemahnya literasi hukum, serta dominasi figur patron sebagai pengatur informasi, warga Tanara secara tidak sadar menjadi bagian dari struktur politik eksploitatif yang melanggengkan ketimpangan.
Ini menunjukkan bahwa tanpa intervensi berupa pendidikan politik dan penguatan kapasitas komunitas, budaya politik parokial akan terus menciptakan masyarakat yang bergantung, bungkam, dan terpinggirkan dari proses pembangunan di tanahnya sendiri.
Gambar 1. Diilustrasikan oleh Penulis (Sumber: Irrelian, 2024)
Sumber: Ilustrasi disusun oleh penulis, Irrelian Janewa (2024), berdasarkan temuan mini riset dan teori Almond & Powell. Ilustrasi ini menggambarkan struktur hierarkis relasi patron-klien antara pemerintah dan pengembang (sebagai patron), tokoh lokal (klien I), dan masyarakat (klien II). Ketergantungan informasi dan tekanan ekonomi membuat masyarakat Tanara berada di posisi subordinat, dengan ruang partisipasi yang sangat terbatas.
Di posisi paling atas terdapat aktor-aktor kekuasaan, yaitu pengembang dan pemerintah, yang memegang kendali terhadap proyek-proyek besar seperti reklamasi PIK 2. Mereka adalah pengambil keputusan utama dan pemilik sumber daya (modal, kebijakan, akses lahan), serta menjadi pengatur arah pembangunan.
Tokoh lokal berfungsi sebagai perantara sosial dan politik, yang menyampaikan kebijakan atau janji dari patron kepada masyarakat. Tokoh-tokoh ini sering dipercaya warga karena kedekatan sosial atau simbolik, tetapi dalam praktiknya kerap menjadi “corong” elite. Mereka tidak sepenuhnya netral dan dapat berperan dalam membujuk warga untuk menerima keputusan tanpa partisipasi kritis.
Masyarakat berada pada lapisan terbawah, dengan akses terbatas terhadap informasi dan keputusan politik. Ketergantungan terhadap tokoh lokal membuat mereka mudah diarahkan, terutama dalam situasi ekonomi yang mendesak. Dalam skema ini, masyarakat tidak memiliki posisi tawar dan cenderung menerima apa yang ditawarkan oleh patron melalui klien I.
Dua garis diagonal yang mengerucut ke bawah menunjukkan penyempitan akses terhadap kekuasaan dan informasi. Semakin ke bawah, semakin lemah posisi aktor dalam mempengaruhi keputusan politik. Ini menggambarkan pola dominasi struktural yang menutup ruang partisipasi langsung masyarakat.
Gambar ini menegaskan bagaimana budaya politik parokial dan sistem patron-klien menciptakan struktur relasi kuasa yang timpang. Masyarakat Tanara tidak menjadi subjek aktif dalam pembangunan, melainkan hanya menjadi penerima keputusan dari elite melalui perantara sosial lokal.
Selain tekanan sosial, ketimpangan harga tanah turut memperparah ketidakadilan. Pak Afriman, akademisi hukum tata negara, menyoroti ketidakselarasan antara Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan harga pasar yang diterima masyarakat. “Konflik agraria tak terhindarkan jika masyarakat tidak memiliki daya tawar,” tegasnya.
Peran media pun menjadi krusial. Bung Iyos Rosyid dan Bung Pacul, dua jurnalis lokal Radar Banten, menyerukan pentingnya keberpihakan media terhadap kebenaran dan kepentingan rakyat. “Tanpa pers, pilar demokrasi tak akan sampai ke masyarakat,” ujar Bung Pacul dalam wawancara.
Solusi yang ditawarkan Janewa mencakup pemberdayaan organisasi masyarakat lokal, dan penguatan edukasi politik berbasis nilai Islam. Kolaborasi antara media, akademisi, LSM, dan pemerintah daerah menjadi syarat mutlak untuk membangun keadilan sosial yang berkelanjutan. “Tanara bisa jadi contoh jika kita berani melawan dominasi kekuasaan kapital dan membangkitkan kesadaran rakyat,” pungkas Janewa dalam laporannya.
Untuk menghadapi tantangan pembangunan di Tanara, solusi yang diusulkan harus relevan dengan konteks lokal dan secara langsung menyasar permasalahan ketimpangan serta potensi konflik agrarian yang mengemuka.
Salah satu langkah yang dapat diambil adalah membangun organisasi masyarakat lokal yang kuat sebagai wadah advokasi. Organisasi ini harus memiliki peran strategis dalam memperjuangkan hak masyarakat, termasuk melindungi tanah mereka dari klaim sepihak oleh pengembang. Dengan membangun jaringan yang melibatkan pemerintah daerah, akademisi, dan lembaga swadaya Masyarakat (LSM), organisasi ini dapat menjadi motor penggerak bagi mobilisasi sosial yang efektif, sebagaimana tercermin dalam studi mobilisasi agraria yang dikemukakan oleh Amin (2010).
Keterkaitan dengan Tanara terlihat dari potensi konflik agraria yang disebabkan oleh ketimpangan harga tanah dan eksploitasi sumber daya lokal. Untuk itu, advokasi yang dilakukan harus berbasis data konkret, seperti nilai tanah, dampak pembangunan terhadap ekosistem, serta potensi kehilangan mata pencaharian masyarakat. Proses ini dapat melibatkan media massa untuk membangun narasi yang berimbang, memperjuangkan hak masyarakat, serta menarik perhatian publik dan otoritas nasional.
Media memiliki peran penting dalam mengungkap ketidakadilan dan mempublikasikan isu-isu yang sering kali terabaikan, sebagaimana dicatat dalam wawancara sebelumnya. Namun, media juga harus didorong untuk menjalankan fungsinya sesuai dengan nilai-nilai jurnalistik dan semangat demokrasi, seperti mendidik, menginformasikan, menghibur, dan mengawasi.
Prosedur praktis yang relevan untuk Tanara meliputi tiga tahapan utama. pertama, mengidentifikasi permasalahan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat melalui musyawarah desa. Kedua, memperkuat kapasitas masyarakat dengan pelatihan keterampilan hukum, pertanian modern, dan kewirausahaan berbasis lokal. Hal ini bertujuan agar masyarakat dapat memanfaatkan potensi sumber daya mereka secara mandiri dan bersaing di pasar lokal maupun regional.
Ketiga, mengadvokasi kebijakan pemerintah daerah agar nilai jual objek pajak (NJOP) disesuaikan dengan nilai pasar yang wajar, serta mengajukan program pemberdayaan masyarakat berbasis keberlanjutan. Solusi ini tidak hanya berfokus pada penyelesaian konflik agraria, tetapi juga menciptakan ekosistem pembangunan yang inklusif di Tanara.
Dengan dukungan media dan pemerintah yang berpihak pada masyarakat, pembangunan dapat berjalan tanpa memarginalisasi kelompok lokal. Tanara, sebagai wilayah dengan sejarah dan nilai budaya yang kaya, berpotensi menjadi contoh bagaimana Masyarakat lokal dapat berdaya di tengah arus kapitalisme yang sering kali mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan keberlanjutan.
Penulis: Irrelian Janewa, Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Editor: Patricia