OPINI | TD – Di tengah meningkatnya tensi global, banyak negara, termasuk Indonesia, mulai terdorong untuk mengalokasikan anggaran lebih besar untuk pertahanan dan militer. Narasi bahwa kekuatan bangsa ditentukan oleh kecanggihan senjata menjadi semakin kuat, seakan-akan itu satu-satunya jalan menuju rasa aman. Padahal, sesungguhnya, keamanan sejati berakar dari kesejahteraan sosial yang merata dan inklusif.
Jika kita benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, maka kita harus ingat bahwa Sila Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menjadi pengingat bahwa pembangunan harus menempatkan manusia sebagai pusatnya. Ketika belanja sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan jaminan pekerjaan mulai terpinggirkan demi kepentingan militer, kita sedang menjauh dari nilai kemanusiaan itu sendiri. Apakah pertahanan negara penting? Jelas, iya. Tapi harus ada keberanian untuk bersikap kritis. Apakah kita sedang membangun pertahanan? Atau, justru menciptakan ketakutan yang menyerap anggaran publik hingga mengorbankan hak-hak dasar warga?
Sila Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, tidak bisa terwujud jika anggaran negara lebih banyak teralokasikan untuk alat perang daripada memperkuat kualitas hidup rakyat. Apalagi jika sebagian besar masyarakat masih bergumul dengan persoalan dasar: akses air bersih, pendidikan layak, atau layanan kesehatan yang setara.
Kita tidak bisa membangun Indonesia Emas 2045 hanya dengan tank dan rudal. Kita butuh masyarakat yang sehat secara fisik dan mental, yang merasa dihargai dan diberi ruang untuk berkembang. Itulah makna sejati dari keamanan. Yakni ketika rakyat merasa aman bukan karena ada tentara di jalanan, tapi karena mereka yakin negara hadir untuk melindungi kehidupannya, bukan hanya wilayahnya. Menjadi bangsa besar bukan tentang menunjukkan otot, tetapi tentang membangun empati, kesetaraan, dan keadilan. Maka, jika negara benar-benar ingin menjadi kuat, ia harus mulai dari yang paling mendasar. Yaitu memenuhi kebutuhan hidup warganya dengan bermartabat.
Penulis: Rania Talitha Yumna, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Editor: Patricia