Ironis! Subsidi BBM di Indonesia Ternyata Penikmatnya Orang Kaya

waktu baca 3 minutes
Kamis, 19 Jun 2025 17:48 0 Patricia Pawestri

OPINI | TDDalam negara kesejahteraan (welfare state), peran negara semestinya aktif dalam memastikan keadilan sosial melalui distribusi sumber daya yang adil dan berpihak pada kelompok rentan. Salah satu instrumen utama yang sering digunakan adalah subsidi khususnya pada sektor-sektor dasar seperti energi.

Namun di Indonesia, praktik subsidi BBM selama ini justru menimbulkan ironi. Bantuan negara lebih banyak dinikmati oleh kalangan menengah-atas daripada masyarakat miskin yang seharusnya menjadi prioritas.

Data Pengguna Subsidi BBM dari Bank Dunia dan Bappenas

Studi dari berbagai lembaga, termasuk Bank Dunia dan Bappenas, sudah berulang kali menunjukkan bahwa sekitar 70% subsidi BBM dinikmati oleh 40% kelompok pendapatan teratas. Pemilik mobil pribadi dan pelaku industri yang mengonsumsi BBM dalam skala besar justru menjadi penerima manfaat utama.

Sementara itu, warga miskin yang hanya menggunakan sepeda motor, atau bahkan tak memiliki kendaraan sama sekali, justru mendapatkan manfaat minimal. Ini adalah bentuk kesejahteraan terbalik. Negara justru menyalurkan dana publik untuk memperkuat kenyamanan kelas atas, bukan memperbaiki kualitas hidup kelompok rentan.

Komitmen Pemerintah Terhadap Keberpihakan Pada Masyarakat Kecil Patut Dipertanyakan

Ironi ini menjadi semakin parah oleh kurangnya akuntabilitas dalam proses distribusi. Meski pemerintah terus menggaungkan transformasi digital dan data terintegrasi, penerapan subsidi tetap berbasis komoditas, bukan subjek. Artinya, siapa pun yang mengakses BBM bersubsidi akan menikmatinya tanpa verifikasi latar belakang sosial. Tidak ada mekanisme pembeda antara seorang tukang ojek dan seorang pemilik SUV bermesin besar. Ketika subsidi berbasis konsumsi, maka yang paling banyak konsumsi akan paling banyak disubsidi sebuah logika yang kontraproduktif dengan keadilan sosial.

Kebijakan ini juga menunjukkan kekaburan komitmen negara terhadap prinsip welfare state. Jika subsidi ditujukan hanya demi menjaga “stabilitas harga” tanpa mempertimbangkan keadilan sosial, maka negara tidak sedang menjalankan prinsip kesejahteraan, melainkan hanya mengelola potensi ketidakpuasan. Alih-alih menciptakan keadilan jangka panjang, negara justru terjebak dalam logika politis jangka pendek. Yakni menjaga “kenyamanan publik” menjelang tahun fiskal atau momentum elektoral tertentu.

Lebih menyedihkan, ketika subsidi BBM membengkak, pemerintah justru cenderung memangkas anggaran di sektor lain yang jauh lebih esensial dalam kerangka welfare. Yaitu pada bidang seperti kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial. Ini adalah kompromi fiskal yang tidak adil. Yakni negara rela membakar triliunan untuk bensin, tapi tak sanggup membangun sistem pendidikan yang merata atau layanan kesehatan universal yang benar-benar gratis.

Dalam konteks ini, subsidi BBM bukan hanya kebijakan teknis, tetapi cermin ideologi negara. Apakah Indonesia benar-benar berpihak pada rakyat kecil, atau sekadar menggunakan narasi welfare state sebagai kosmetik politik? Jika negara tak mampu menjawab siapa yang paling layak mendapat bantuan dan bagaimana memastikan bantuan itu tepat guna, maka ia telah gagal menjalankan fungsi redistributif yang menjadi dasar eksistensinya dalam masyarakat.

Kebijakan Subsidi BBM Seharusnya Pro-Poor

Sudah saatnya negara berhenti menutup mata terhadap ketimpangan struktural dalam skema subsidi energi. Subsidi harus bersifat pro-poor, bukan pro-user. Mekanisme verifikasi harus diperkuat, bahkan jika perlu subsidi langsung dalam bentuk tunai atau voucher yang hanya bisa digunakan oleh kelompok terverifikasi. Negara harus berani memilih, melayani kepentingan rakyat miskin, atau terus memanjakan kenyamanan kelas atas dengan dalih stabilitas ekonomi semu.

Jika pilihan negara tetap pada subsidi universal tanpa koreksi struktural, maka kita tidak sedang menuju welfare state melainkan sedang membiayai negara kemapanan yang timpang. Dan dalam kondisi itu, rakyat bukan sedang ditolong, melainkan sedang ditenangkan, agar tetap diam di tengah ketidakadilan yang terus dibiayai dengan uang mereka sendiri.

Penulis: Nadifha Tiara Safitri, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Editor: Patricia

LAINNYA