RELIGI | TD — Dalam tradisi para ulama, ada sebuah doa singkat namun sarat makna:
Ilāhī anta maqsūdī, wa riḍāka maṭlūbī, a‘ṭinī maḥabbataka wa ma‘rifataka.
“Ya Allah, Engkaulah tujuan hidupku, dan keridhaan-Mu adalah yang aku cari. Anugerahkanlah kepadaku cinta-Mu dan pengenalan akan-Mu.”
Sepintas, doa ini sederhana. Namun jika direnungkan, ia adalah peta jalan hidup seorang Muslim. Kalimat yang pendek mampu merangkum hakikat keberadaan kita di dunia: tentang tujuan, arah, bekal, dan harapan akhir yang sejati.
Banyak orang menjadikan dunia sebagai tujuan utama: mengejar harta, jabatan, status sosial, atau pengakuan. Tak jarang, semua itu dikejar habis-habisan, seolah-olah hidup berakhir di dunia. Padahal, semua kenikmatan dunia hanyalah sementara.
Doa ini mengingatkan bahwa tujuan sejati bukanlah dunia, melainkan Allah SWT. Jika hati sudah menancapkan Allah sebagai tujuan, maka dunia hanya menjadi jalan, bukan tujuan akhir. Kita bekerja bukan hanya demi gaji, tapi karena ingin menafkahi keluarga dengan cara halal. Kita belajar bukan hanya demi ijazah, tapi agar ilmu bermanfaat dan diridhai Allah. Dunia tetap dijalani, tapi bukan sebagai arah terakhir.
Seringkali manusia beramal dengan harapan mendapat balasan duniawi: pujian, penghargaan, atau popularitas. Padahal, balasan dari amal ketaatan yang paling mulia bukanlah materi atau kedudukan, melainkan ridha Allah SWT.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
وَرِضْوَانٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ
“…dan keridhaan Allah itu lebih besar (nilainya).” (QS. At-Taubah [9]:72)
Artinya, bahkan surga dengan segala kenikmatannya masih kalah dibanding ridha Allah. Karena surga hanyalah hasil, sedangkan ridha-Nya adalah inti dari kebahagiaan yang sejati.
Doa ini juga berisi permohonan agar Allah menanamkan cinta-Nya ke dalam hati kita. Mengapa cinta begitu penting? Karena cinta adalah energi yang membuat ibadah terasa ringan dan menyenangkan.
Orang yang mencintai Allah akan merasakan nikmat dalam shalat, bukan sekadar kewajiban. Ia rindu bermunajat dalam doa, bukan sekadar rutinitas. Ia tabah dalam cobaan, karena yakin semua datang dari Zat yang dicintainya.
Cinta kepada Allah menjadikan seorang hamba rela berkorban, bahkan lebih mudah meninggalkan maksiat. Sebab, bagaimana mungkin ia tega menyakiti Zat yang dicintainya dengan perbuatan dosa?
Doa ini ditutup dengan permintaan agar Allah memberi ma‘rifat, yaitu pengenalan hati yang mendalam kepada-Nya. Bukan hanya tahu bahwa Allah ada, tetapi benar-benar mengenal sifat-sifat-Nya, merasakan kehadiran-Nya, dan yakin sepenuhnya pada kuasa-Nya.
Dengan ma‘rifat, hati menjadi tenang. Cobaan dunia tidak lagi terasa menghancurkan, karena kita sadar semua berada dalam kendali Allah. Nikmat dunia tidak lagi membutakan, karena kita tahu bahwa itu hanyalah titipan.
Allah SWT berfirman:
أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra‘d [13]:28)
Kita hidup di era yang serba cepat, penuh kompetisi, dan penuh godaan. Banyak orang terjebak dalam stres, kecemasan masa depan, bahkan kehilangan arah hidup. Di tengah kondisi ini, doa Ilahi anta maqsudi, waridhoka matlubi… menjadi pegangan yang menenangkan.
Ia mengajarkan bahwa hidup bukan sekadar mengejar target duniawi, tetapi mengarahkan semua langkah menuju Allah. Dengan orientasi itu, kita akan lebih tenang, karena sadar bahwa hasil akhir bukan di tangan kita, melainkan Allah. Tugas kita hanyalah berusaha sebaik mungkin dengan cara yang halal, lalu menyerahkan hasilnya kepada-Nya.
Doa ini seakan menyatukan seluruh esensi ibadah: tujuan yang lurus, keridhaan yang dicari, cinta yang menggerakkan, dan ma‘rifat yang menenangkan.
Ketika doa ini benar-benar tertanam di hati, setiap langkah hidup menjadi bermakna. Makan, tidur, bekerja, belajar, bahkan berinteraksi dengan orang lain—semuanya bisa bernilai ibadah jika diniatkan untuk Allah.
Maka, mari kita jadikan doa ini bukan sekadar ucapan, tetapi jalan hidup:
Ilahi anta maqsudi, waridhoka matlubi, a‘thini mahabbataka wama‘rifataka.
Ya Allah, Engkaulah tujuan hidupku, keridhaan-Mu yang kucari. Anugerahkanlah cinta-Mu dan ma‘rifat-Mu kepadaku. (*)