Hilangnya Keteladanan Pejabat Negara: Mencari Kembali Teladan di Tengah Arogansi

waktu baca 3 menit
Rabu, 22 Jan 2025 11:15 0 35 Redaksi

OPINI | TD – Belum lama ini, publik Indonesia dikejutkan oleh tindakan kontroversial Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Diktisaintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro. Ia diduga memecat pegawainya secara sepihak dan bahkan menamparnya. Rekaman insiden tersebut menyebar luas di media sosial, memicu aksi unjuk rasa dari sejumlah pegawai yang merasa teraniaya. Dalam sekejap, menteri tersebut dijuluki “Menteri Pemarah,” sebuah gelar yang mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap perilakunya.

Satu kata yang terlintas di benak penulis ketika mendengar berita ini adalah: Arogan! Tindakan arogan seperti ini seharusnya tidak terjadi pada seorang pejabat negara. Seorang pemimpin seharusnya menjadi teladan, bukan hanya dalam kebijakan, tetapi juga dalam perilaku. Ketidakmampuan untuk mengontrol emosi dan bertindak dengan bijak dapat merusak integritas dan menciptakan citra buruk bagi institusi yang dipimpinnya.

Pelanggaran etika oleh pejabat negara bukanlah hal baru. Kasus konflik kepentingan, penyalahgunaan wewenang, dan tindakan korupsi masih sering terjadi. Masyarakat Indonesia, yang menaruh harapan besar kepada para pemimpin mereka, sering kali merasa kecewa ketika melihat tindakan yang tidak mencerminkan nilai-nilai etika dan moral. Pejabat negara harus menyadari bahwa mereka bukan hanya memegang jabatan, tetapi juga amanah dari rakyat.

Dalam konteks ini, penting bagi pejabat negara untuk mampu mengontrol diri. Jabatan yang diemban membawa tanggung jawab yang besar, dan perilaku mereka akan menjadi cerminan dari institusi yang mereka pimpin. Selain itu, mereka juga harus memiliki ide dan gagasan yang konstruktif untuk kesejahteraan masyarakat. Tanpa gagasan yang jelas, apa yang bisa diharapkan dari seorang pemimpin? Seharusnya, mereka tidak hanya berfokus pada kekuasaan, tetapi juga pada bagaimana memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.

Ketika ada pejabat negara yang melanggar etika, seharusnya mereka menyadari kesalahan dan dengan rendah hati mengajukan pengunduran diri dari jabatannya. Tindakan ini bukan hanya menunjukkan integritas, tetapi juga memberikan contoh yang baik bagi masyarakat. Sayangnya, hal ini jarang terjadi. Banyak pejabat yang lebih memilih untuk bertahan meskipun telah melakukan pelanggaran, yang pada akhirnya hanya memperburuk citra mereka dan institusi yang mereka wakili.

Mari kita menengok ke belakang dan mengenang sosok-sosok menteri terdahulu yang bisa dijadikan teladan. Salah satunya adalah Menteri Hoegeng. Gus Dur pernah mengenangnya dalam sebuah lelucon: “Hanya ada tiga polisi yang tidak bisa disuap, yakni patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng.” Sebelum menjabat sebagai Kapolri, Hoegeng Imam Santoso pernah menjabat sebagai Menteri Iuran Negara di era Sukarno. Hoegeng dikenal memiliki integritas yang tinggi, sosok yang jujur, sederhana, dan tegas. Ia adalah contoh nyata seorang pemimpin yang anti suap, bukan sosok yang pemarah.

Selain Hoegeng, ada juga Agus Salim yang dikenal dengan kesederhanaannya. Kita juga bisa melihat Sutami, Menteri Pekerjaan Umum yang menjabat di dua rezim dan dikenal sebagai menteri termiskin di Indonesia, meskipun empat kali dilantik. Tokoh-tokoh tersebut tidak menunjukkan sikap arogan dengan jabatan yang mereka emban. Mereka tidak memperkaya diri sendiri, melainkan mengutamakan kepentingan rakyat.

Jika saat ini kita kesulitan menemukan sosok keteladanan, mari kita kembali ke ‘rumah’ sejarah. Kita perlu menghidupkan kembali kisah dan pemikiran mereka, agar dapat dijadikan rujukan dan inspirasi dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam dunia yang semakin kompleks ini, kita membutuhkan pemimpin yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki integritas dan empati terhadap rakyatnya.

Keteladanan adalah kunci untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Tanpa keteladanan, akan sulit bagi masyarakat untuk percaya bahwa para pemimpin mereka mampu membawa perubahan yang positif. Mari kita dorong para pejabat negara untuk kembali kepada nilai-nilai etika dan moral yang seharusnya menjadi landasan dalam menjalankan tugas mereka. Hanya dengan cara ini, kita dapat berharap untuk melihat perubahan yang nyata dan positif dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Penulis: Ade Firdiansyah, seorang konten kreator di Tangerang. (*)

""
""
""
LAINNYA