Fauzan Akmal Fatahillah. (Foto: Dok. Pribadi)OPINI | TD – Perkembangan media sosial telah mempermudah manusia untuk mengetahui berbagai aktivitas sosial, baik daring maupun luring, yang dapat diikuti. Di satu sisi, media sosial membuka peluang interaksi yang luas serta memperluas jaringan sosial. Namun di sisi lain, platform digital sering kali menghadirkan lebih banyak pilihan aktivitas dibandingkan dengan kemampuan waktu dan energi yang dimiliki individu. Sifat ganda media sosial inilah yang perlahan mengubah cara manusia memandang kehidupan, relasi sosial, hingga makna kebahagiaan.
Di tengah derasnya arus informasi digital, muncul dua istilah yang semakin sering dibicarakan dan secara tidak langsung memengaruhi gaya hidup generasi masa kini, khususnya generasi milenial dan Gen Z, yaitu FOMO (Fear of Missing Out) dan JOMO (Joy of Missing Out). Keduanya bukan sekadar istilah populer, melainkan fenomena psikologis yang nyata dan berdampak signifikan terhadap kesehatan mental serta pola hidup sehari-hari.
FOMO merujuk pada kondisi psikologis ketika seseorang merasa cemas atau takut tertinggal dari aktivitas, tren, atau pengalaman yang sedang dialami orang lain. Istilah ini pertama kali diperkenalkan dalam kajian psikologi oleh Dan Herman dan kemudian diperkuat oleh penelitian Andrew K. Przybylski dari University of Oxford. Dalam penelitiannya, Przybylski menemukan bahwa FOMO berkaitan erat dengan intensitas penggunaan media sosial serta kebutuhan individu akan penerimaan sosial.
Media sosial, melalui unggahan pencapaian, liburan, dan gaya hidup ideal, kerap menciptakan ilusi bahwa orang lain menjalani kehidupan yang lebih baik, lebih bahagia, dan lebih sukses. Akibatnya, banyak individu terdorong untuk terus terhubung karena takut melewatkan sesuatu. Kondisi ini dalam jangka panjang dapat memicu stres, kecemasan, hingga kelelahan mental.
Sejumlah studi juga menunjukkan bahwa FOMO berhubungan dengan penurunan kualitas tidur, meningkatnya rasa tidak puas terhadap diri sendiri, serta kecenderungan membandingkan kehidupan pribadi dengan standar ideal yang dibentuk media sosial. Penelitian yang dipublikasikan dalam Computers in Human Behavior menyebutkan bahwa individu dengan tingkat FOMO tinggi cenderung memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih rendah. Fenomena ini semakin terasa di kalangan generasi muda yang tumbuh bersama teknologi digital dan menjadikan media sosial sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial mereka.
Sebagai respons terhadap tekanan tersebut, muncul tren baru yang dikenal dengan JOMO (Joy of Missing Out). JOMO menggambarkan sikap menerima dan menikmati keputusan untuk tidak selalu terlibat dalam setiap aktivitas sosial atau tren digital. Berbeda dengan FOMO yang didorong oleh rasa takut, JOMO berangkat dari kesadaran diri dan keinginan untuk hidup lebih tenang. Individu yang menerapkan JOMO memilih memprioritaskan kesehatan mental, waktu pribadi, dan hubungan yang bermakna, tanpa merasa bersalah karena tidak ikut-ikutan.
Konsep JOMO mulai banyak dibahas dalam kajian gaya hidup dan kesehatan mental, seiring meningkatnya kesadaran akan dampak negatif kecanduan media sosial. Sejumlah artikel psikologi populer dan riset kesehatan mental menunjukkan bahwa pengurangan paparan media sosial secara sadar dapat menurunkan tingkat stres serta meningkatkan kepuasan hidup. Bahkan, laporan dari Harvard Business Review menyebutkan bahwa membatasi keterhubungan digital dapat membantu individu menjadi lebih fokus, produktif, dan hadir secara utuh dalam kehidupan nyata.
Bagi generasi masa kini, pergeseran dari FOMO ke JOMO menandai perubahan cara pandang terhadap kebahagiaan. Kebahagiaan tidak lagi diukur dari seberapa sering seseorang hadir dalam acara sosial atau mengikuti tren viral, melainkan dari seberapa nyaman ia menjalani hidup sesuai dengan nilai dan kebutuhannya sendiri. JOMO mengajarkan bahwa melewatkan sesuatu bukanlah kegagalan, melainkan pilihan sadar untuk menjaga keseimbangan hidup.
Pada akhirnya, FOMO dan JOMO mencerminkan dua sikap mental yang berbeda dalam menghadapi dunia digital. FOMO mendorong individu untuk terus mengejar validasi eksternal, sementara JOMO mengajak untuk berdamai dengan diri sendiri. Di tengah dunia yang semakin bising dan serba cepat, kemampuan memilih kapan harus terhubung dan kapan harus berhenti menjadi kunci penting bagi kesehatan mental generasi masa kini.
Penulis: Fauzan Akmal Fatahillah, Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, UIN SMH Banten.
Referensi:
Przybylski, A. K., et al. (2013). Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out. Computers in Human Behavior.
Harvard Business Review. How Constant Connectivity Hurts Your Mental Health.
Wikipedia. Fear of Missing Out (FOMO).
Kumparan dan artikel psikologi populer tentang FOMO dan JOMO.
Journal of Behavioral Addictions dan Computers in Human Behavior. (*)