Dewi Gina Apriani. (Foto: Dok. Pribadi)OPINI | TD — Body shaming bukan lagi hal baru di media sosial, tetapi belakangan ini fenomenanya semakin mengkhawatirkan—terutama bagi remaja putri. Di tengah derasnya tren kecantikan digital dan standar tubuh ideal yang terus didorong algoritma, remaja perempuan menjadi kelompok yang paling sering diserang komentar tentang bentuk tubuh mereka.
Dalam dua tahun terakhir, beberapa kasus body shaming di Indonesia bahkan sampai viral. Salah satunya dialami seorang siswi SMP di Jawa Tengah pada 2024 yang mengalami depresi setelah berulang kali dihina melalui TikTok. Kisah ini menyadarkan banyak orang bahwa body shaming bukan sekadar lelucon internet, melainkan bentuk kekerasan mental yang dapat meninggalkan luka mendalam.
Penelitian juga menunjukkan hal serupa. Body shaming dapat menurunkan kepercayaan diri, merusak kesehatan mental, hingga memengaruhi pola makan remaja. Semua ini menunjukkan bahwa kita sedang menghadapi masalah yang lebih besar: menurunnya empati dan kepedulian di dunia digital.
Komentar negatif tentang tubuh bisa muncul dalam berbagai bentuk: sindiran, meme, ejekan, hingga konten viral yang merendahkan fisik seseorang. Bagi remaja yang sedang membangun identitas diri, komentar seperti ini bisa terasa sangat menghancurkan.
Riset menunjukkan bahwa remaja putri yang menjadi korban body shaming cenderung:
Yang membuatnya lebih buruk, banyak pelaku merasa bebas menghina karena bisa bersembunyi di balik akun anonim. Tanpa identitas yang jelas, empati pun hilang.
Fenomena inilah yang membuat body shaming tidak bisa dianggap sepele. Ia adalah bentuk kekerasan mental yang tumbuh karena budaya digital yang kurang berempati dan kurangnya pendidikan etika bermedia sosial.
Jika kita melihat lebih dalam, body shaming bukan hanya soal komentar menyakitkan—ia mencerminkan dekadensi moral dalam masyarakat digital. Media sosial membuat orang merasa sah untuk menilai, mengkritik, atau bahkan merendahkan tubuh orang lain tanpa rasa bersalah.
Masalahnya, hukum dan kebijakan platform media sosial tidak selalu bisa mengatasi ini. Banyak komentar kasar lolos dari moderasi karena tidak memenuhi unsur pelanggaran hukum.
Solusi sebenarnya ada pada sesuatu yang lebih mendasar: bagaimana kita mendidik empati, etika, dan rasa saling menghargai sejak dini.
Nilai-nilai seperti ini sebenarnya sudah ada dalam Pancasila, terutama sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sayangnya, nilai tersebut sering hanya menjadi hafalan, bukan pedoman hidup—apalagi di dunia digital.
Mengajar etika digital kepada Generasi Z tidak bisa dengan cara ceramah panjang. Mereka perlu pendekatan kreatif yang dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari. Beberapa langkah modern yang bisa diterapkan antara lain:
1. Kampanye Digital Berbasis Empati
Tantangan seperti “Comment With Kindness”, konten video singkat yang menceritakan dampak body shaming, atau filter pengingat sebelum mengomentari bisa meningkatkan kesadaran tanpa terkesan menggurui.
2. Gamifikasi Nilai Kebaikan
Kuis pilihan moral, simulasi komentar positif-negatif, atau sistem poin untuk interaksi ramah dapat membuat nilai Pancasila terasa lebih hidup dan menyenangkan bagi remaja.
3. Peer-Influencer dari Kalangan Remaja
Remaja cenderung lebih percaya pada teman sebaya daripada tokoh publik. Mengajak micro-influencer sekolah sebagai “duta anti body shaming” dapat membuat pesan positif lebih mudah diterima.
4. Proyek Kreatif Berbasis Aksi
Film pendek, komik digital, poster kampanye, atau riset kecil tentang komentar negatif dapat menjadi cara konkret mengajarkan empati. Ini membuat nilai Pancasila tampak nyata, bukan hanya teori.
5. Kolaborasi Platform, Sekolah, dan Komunitas
Dengan dukungan AI untuk mendeteksi komentar toxic, workshop konten positif, hingga komunitas digital anti body shaming, nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dapat diterapkan secara lebih luas.
Body shaming terhadap remaja putri bukan sekadar fenomena sosial, tetapi cermin bahwa ruang digital kita kekurangan empati dan penghargaan terhadap martabat manusia. Sementara dampaknya bisa menghancurkan mental remaja, solusinya sebenarnya sudah ada dalam jati diri bangsa kita: nilai-nilai Pancasila.
Dengan menghidupkan kembali Kemanusiaan yang Adil dan Beradab melalui pendekatan yang relevan bagi Generasi Z, Indonesia bisa membangun media sosial yang lebih aman, ramah, dan manusiawi. Langkah ini tidak hanya mencegah body shaming, tetapi juga membantu remaja tumbuh menjadi pribadi yang kuat, percaya diri, dan menghargai perbedaan.
Penulis: Dewi Ghina Apriani
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)