Etika Komunikasi dalam Islam: Analisis Kasus Penghinaan oleh Gus Miftah Terhadap Pedagang Kecil

waktu baca 4 minutes
Jumat, 6 Des 2024 18:31 0 Redaksi

OPINI | TD — Pada zaman sekarang, etika berbicara dan menghargai antar sesama menjadi nilai yang sangat penting, terutama di tengah masyarakat yang semakin terbuka dan tersebar luas melalui media sosial. Perkembangan teknologi yang pesat memungkinkan informasi tersebar secara cepat, termasuk ujaran kebencian.

Baru-baru ini, publik menyoroti kasus penghinaan terhadap pedagang kecil, misalnya seorang penjual es teh, yang dilakukan oleh seorang tokoh publik (Gus Miftah). Peristiwa ini menimbulkan keprihatinan karena kata-kata yang digunakan sangat merendahkan dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ajaran Islam.

Kasus ini diperparah karena selain seorang dai, Gus Miftah juga menempati jabatan di pemerintahan sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan.

Tanggapan Presiden Prabowo Subianto terhadap tindakan Gus Miftah semakin memperkuat pentingnya isu ini. Melalui Sekretaris Kabinet, Teddy Indra Wijaya, Presiden Prabowo menyampaikan teguran kepada Gus Miftah terkait perilakunya yang tidak mencerminkan tugas dan tanggung jawabnya sebagai Utusan Khusus Presiden.

Teguran ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menjaga martabat setiap individu dan menghargai profesi apa pun. Sebagai konsekuensi dari tindakannya, Gus Miftah kemudian mengundurkan diri dari jabatannya. Keputusan ini menunjukkan bahwa tanggung jawab moral dan etika publik harus diprioritaskan di atas jabatan dan kedudukan.

Ajaran Islam tentang Menjaga Lisan

Islam mengajarkan pentingnya adab dalam berbicara dan menghormati sesama, tanpa memandang status atau profesi. Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 11 berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain. Boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu lebih baik daripada mereka yang mengolok-olok.”

Ayat ini mengingatkan kita untuk saling menghormati, terlepas dari pekerjaan, jabatan, atau latar belakang seseorang. Sebab yang membedakan manusia di hadapan Allah SWT hanyalah amal ibadahnya.

Pedagang kaki lima, seperti penjual es teh yang menjadi korban penghinaan, merupakan bagian masyarakat yang berjuang mencari nafkah untuk keluarganya. Islam menghargai setiap pekerjaan yang halal dan tidak melanggar syariat, tanpa membedakan besar kecilnya. Oleh karena itu, menghina pekerjaan seseorang merupakan tindakan yang tidak terpuji.

Kasus Gus Miftah menunjukkan bahwa penghinaan dapat terjadi pada siapa pun, bahkan oleh mereka yang memiliki peran penting dalam masyarakat. Hal ini menekankan perlunya komitmen untuk selalu menjaga adab dan etika dalam setiap tindakan dan perkataan.

Penghinaan terhadap pedagang kecil juga menunjukkan kurangnya empati dan solidaritas sosial. Islam menekankan pentingnya persaudaraan dan melarang merendahkan orang lain. Hadits dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, yang diriwayatkan Imam Muslim (no. 2564), berbunyi:

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Dia tidak boleh menganiaya, menghina, mendustakan, dan merendahkannya. Takwa itu ada di sini,” – sambil Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk ke dadanya tiga kali – “Cukuplah seseorang dalam kejelekan jika ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Hak-hak seorang muslim terhadap muslim lainnya terjaga, yaitu darah, harta, dan kehormatannya.”

Hadits ini menegaskan persaudaraan dalam Islam dan pelarangan merendahkan sesama. Setiap individu berhak dihormati dan dihargai.

Dari perspektif Islam, kita diajarkan berkomunikasi dengan penuh kasih sayang dan menghargai sesama, terutama mereka yang berjuang keras mencari nafkah. Penghinaan terhadap pedagang kecil tidak hanya merendahkan martabat, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ajaran agama.

Kasus Gus Miftah mengingatkan kita untuk selalu menjaga lisan dalam berinteraksi. Keselamatan seseorang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya menjaga lisan. Status sosial tidak menentukan kemuliaan di sisi Allah SWT.

Kejadian ini juga mengandung hikmah bahwa Allah SWT Maha Kuasa atas segala sesuatu, bahkan dapat mengangkat dan menurunkan derajat seseorang dengan cepat. Oleh karena itu, kita perlu berhati-hati dalam bertindak dan berucak, karena lidah lebih tajam daripada pedang.

Kesimpulan

Penghinaan yang dilakukan Gus Miftah terhadap pedagang es merupakan tindakan tercela dan bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan adab berbahasa, empati, dan solidaritas sosial.

Kasus Gus Miftah juga menjadi contoh nyata pentingnya menjaga etika dan martabat manusia, bahkan bagi mereka yang memiliki posisi penting dalam masyarakat.

Kita harus senantiasa introspeksi dan menjaga lisan agar terhindar dari perbuatan yang menyakiti dan merendahkan sesama.

Penulis: Intan Maharani, Mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. (*)

LAINNYA