Ekspektasi Sosial Terhadap Usia Menikah Wanita: Perspektif Global dan Realitas di Indonesia

waktu baca 3 minutes
Senin, 10 Nov 2025 11:59 0 Nazwa

OPINI | TD — Di Indonesia, perempuan yang menikah di usia matang sering dipandang negatif. Mereka dijuluki “perawan tua,” dianggap terlalu pilih-pilih, bahkan tidak laku. Sementara laki-laki dengan usia pernikahan yang sama justru dipuji karena dianggap bijak dan mempersiapkan masa depan keluarga. Pertanyaannya: mengapa standar ganda ini masih berlaku, padahal risiko pernikahan dini jelas nyata?

Pernikahan Bukan Sekadar Usia

Ekspektasi sosial di Indonesia menekankan bahwa wanita harus menikah muda. Padahal, penelitian menunjukkan risiko nyata menikah terlalu dini: perceraian, stres psikologis, kesulitan ekonomi, dan pola asuh yang kurang optimal bagi anak. Data Pengadilan Agama Kelas I-A Medan menunjukkan peningkatan perceraian signifikan dari 2020–2024, dengan 2.498 kasus pada 2023, sebagian besar melibatkan pasangan muda berusia 18–23 tahun.

Hal ini menegaskan bahwa keberhasilan pernikahan lebih ditentukan oleh kesiapan mental, emosional, dan finansial, bukan sekadar usia. Menikah terlalu muda karena tekanan sosial justru dapat merugikan generasi berikutnya.

Standar Ganda dan Tekanan Sosial

Fenomena ini mencerminkan standar ganda: laki-laki dipuji karena menunda pernikahan untuk kemapanan, sementara wanita dikritik jika melakukan hal yang sama. Paradigma ini membatasi perempuan untuk mempersiapkan diri secara matang, padahal tanggung jawab rumah tangga tidak boleh hanya dibebankan pada satu pihak.

Perbandingan Budaya: Indonesia vs Global

Di banyak negara maju, pernikahan di usia matang lebih diterima bahkan dianggap bijak. Misalnya:

  • Jepang dan Korea Selatan: Banyak wanita menunda pernikahan hingga usia akhir 20-an atau awal 30-an untuk pendidikan dan karier. Masyarakat melihat hal ini sebagai persiapan matang, bukan stigma.
  • Eropa Barat (Belanda, Swedia, Jerman): Rata-rata usia menikah wanita berkisar 30 tahun. Pernikahan muda sangat jarang, dan pasangan yang menunda menikah justru dipandang lebih stabil secara finansial dan emosional.
  • Amerika Serikat: Angka perceraian lebih rendah pada pasangan yang menikah setelah usia 25, menunjukkan kesiapan mental dan kemapanan berpengaruh signifikan pada keberhasilan rumah tangga.

Di sisi lain, di Indonesia, norma tradisional masih menekankan menikah muda, terutama bagi wanita. Padahal, data global menunjukkan bahwa menunda pernikahan dengan persiapan matang cenderung menghasilkan keluarga yang lebih stabil dan anak yang lebih terdidik.

Pentingnya Persiapan Matang

Pernikahan bukan sekadar bukti cinta, melainkan komitmen jangka panjang yang menuntut kesiapan mental, emosional, dan finansial. Beberapa pertanyaan penting sebelum menikah:

  • Apakah saya siap menghadapi konflik rumah tangga secara sehat?
  • Apakah saya memahami tujuan dan makna pernikahan secara menyeluruh?
  • Apakah saya mampu menghadapi tantangan ekonomi dan mengasuh anak dengan baik?

Jawaban atas pertanyaan ini membutuhkan refleksi diri dan pengalaman. Dengan demikian, menikah di usia matang, ketika individu benar-benar siap, jauh lebih bijak dibanding menikah muda karena tekanan sosial.

Kesimpulan

Ekspektasi sosial agar wanita menikah muda sudah tidak relevan di era modern. Pernikahan yang sukses ditentukan oleh kesiapan individu, bukan usia. Menikah terlalu dini tanpa persiapan matang justru meningkatkan risiko perceraian, tekanan psikologis, dan kesalahan pola asuh.

Globalisasi dan perbandingan budaya menunjukkan bahwa menunda pernikahan untuk persiapan matang adalah praktik bijak, baik secara emosional maupun finansial. Oleh karena itu, perempuan berhak menentukan waktu menikah sesuai kesiapan diri, sama seperti laki-laki, tanpa terikat tekanan sosial yang ketinggalan zaman.

Penulis: Nadine Pricilla Sirait
Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

LAINNYA