Nadine Pricilia Sirait. (Foto: Dok. Pribadi)OPINI | TD — Di Indonesia, perempuan yang menikah di usia matang sering dipandang negatif. Mereka dijuluki “perawan tua,” dianggap terlalu pilih-pilih, bahkan tidak laku. Sementara laki-laki dengan usia pernikahan yang sama justru dipuji karena dianggap bijak dan mempersiapkan masa depan keluarga. Pertanyaannya: mengapa standar ganda ini masih berlaku, padahal risiko pernikahan dini jelas nyata?
Ekspektasi sosial di Indonesia menekankan bahwa wanita harus menikah muda. Padahal, penelitian menunjukkan risiko nyata menikah terlalu dini: perceraian, stres psikologis, kesulitan ekonomi, dan pola asuh yang kurang optimal bagi anak. Data Pengadilan Agama Kelas I-A Medan menunjukkan peningkatan perceraian signifikan dari 2020–2024, dengan 2.498 kasus pada 2023, sebagian besar melibatkan pasangan muda berusia 18–23 tahun.
Hal ini menegaskan bahwa keberhasilan pernikahan lebih ditentukan oleh kesiapan mental, emosional, dan finansial, bukan sekadar usia. Menikah terlalu muda karena tekanan sosial justru dapat merugikan generasi berikutnya.
Fenomena ini mencerminkan standar ganda: laki-laki dipuji karena menunda pernikahan untuk kemapanan, sementara wanita dikritik jika melakukan hal yang sama. Paradigma ini membatasi perempuan untuk mempersiapkan diri secara matang, padahal tanggung jawab rumah tangga tidak boleh hanya dibebankan pada satu pihak.
Di banyak negara maju, pernikahan di usia matang lebih diterima bahkan dianggap bijak. Misalnya:
Di sisi lain, di Indonesia, norma tradisional masih menekankan menikah muda, terutama bagi wanita. Padahal, data global menunjukkan bahwa menunda pernikahan dengan persiapan matang cenderung menghasilkan keluarga yang lebih stabil dan anak yang lebih terdidik.
Pernikahan bukan sekadar bukti cinta, melainkan komitmen jangka panjang yang menuntut kesiapan mental, emosional, dan finansial. Beberapa pertanyaan penting sebelum menikah:
Jawaban atas pertanyaan ini membutuhkan refleksi diri dan pengalaman. Dengan demikian, menikah di usia matang, ketika individu benar-benar siap, jauh lebih bijak dibanding menikah muda karena tekanan sosial.
Ekspektasi sosial agar wanita menikah muda sudah tidak relevan di era modern. Pernikahan yang sukses ditentukan oleh kesiapan individu, bukan usia. Menikah terlalu dini tanpa persiapan matang justru meningkatkan risiko perceraian, tekanan psikologis, dan kesalahan pola asuh.
Globalisasi dan perbandingan budaya menunjukkan bahwa menunda pernikahan untuk persiapan matang adalah praktik bijak, baik secara emosional maupun finansial. Oleh karena itu, perempuan berhak menentukan waktu menikah sesuai kesiapan diri, sama seperti laki-laki, tanpa terikat tekanan sosial yang ketinggalan zaman.
Penulis: Nadine Pricilla Sirait
Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)