EKBIS | TD – Dalam beberapa waktu terakhir, istilah downtrading semakin sering muncul dalam diskusi mengenai perubahan perilaku konsumsi masyarakat, terutama di sektor rokok di Indonesia. Fenomena ini menarik perhatian karena dianggap sebagai salah satu faktor penyebab penurunan produksi rokok domestik.
Downtrading merujuk pada kecenderungan konsumen untuk beralih dari produk yang lebih mahal atau premium ke pilihan yang lebih terjangkau. Di tengah tantangan ekonomi, kenaikan harga barang pokok, dan tarif cukai rokok yang meningkat, banyak perokok yang mulai menyesuaikan pilihan mereka agar sesuai dengan anggaran.
Dalam industri rokok, fenomena ini terlihat dari pergeseran konsumen yang beralih dari rokok golongan I (merek besar dengan harga tinggi) ke rokok golongan II atau III yang lebih murah. Beberapa konsumen bahkan memilih untuk beralih ke rokok lintingan atau produk alternatif yang lebih ekonomis. Pilihan ini lebih berkaitan dengan strategi bertahan di tengah kenaikan harga yang signifikan setiap tahun akibat penyesuaian cukai.
Menurut para pengamat ekonomi dan industri, downtrading tidak hanya berdampak pada volume penjualan, tetapi juga mengubah struktur pasar. Pabrikan besar yang selama ini mengandalkan segmen premium mulai merasakan tekanan. Data dari Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menunjukkan adanya penurunan produksi seiring dengan pergeseran pola konsumsi ke segmen yang lebih rendah.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda, menjelaskan dalam sebuah wawancara, “Kenaikan cukai yang tinggi setiap tahun membuat rokok segmen premium semakin tidak terjangkau bagi banyak orang. Pilihan yang logis adalah beralih ke produk yang lebih murah atau bahkan mengurangi konsumsi. Inilah yang kita sebut fenomena downtrading.”
Fenomena ini juga menjadi tantangan bagi pelaku industri rokok untuk menyesuaikan strategi bisnis mereka. Beberapa perusahaan mulai meluncurkan varian produk dengan harga yang lebih terjangkau untuk tetap menjangkau pasar yang bergeser. Sementara itu, pemerintah terus mendorong pengendalian konsumsi rokok melalui kebijakan tarif cukai dan kampanye kesehatan, yang secara tidak langsung berkontribusi pada terjadinya downtrading.
Pengamat industri rokok, Heru Pambudi, menambahkan, “Downtrading memaksa pabrikan untuk lebih adaptif. Ini bukan hanya soal harga, tetapi juga inovasi produk dan pemahaman tentang segmen pasar yang baru. Jika tidak cepat beradaptasi, mereka bisa kehilangan pangsa pasar.”
Akhirnya, downtrading mencerminkan bagaimana konsumen beradaptasi dengan kondisi ekonomi yang terus berubah. Bagi industri rokok, ini bukan hanya tentang penurunan angka produksi, tetapi juga sinyal bahwa preferensi pasar terus berkembang, dan pelaku usaha perlu lebih peka terhadap kebutuhan serta daya beli masyarakat. (Nazwa/Pat)