Disonansi Organisasi Jaman Now, Keterbelakangan Intelektualitas?

waktu baca 3 minutes
Selasa, 11 Nov 2025 10:38 0 Nazwa

OPINI | TD — Organisasi sejatinya dibentuk dengan tujuan bersama: menyatukan berbagai kepala untuk menuju satu destinasi yang sama. Ini didasari pola pikir bahwa manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan grup agar perjalanan menuju “Roma” lebih mudah dan terarah. Visi dan misi organisasi muncul dari kebutuhan bersama agar fokus mencapai tujuan.

Namun, apa jadinya jika organisasi justru menyingkirkan anggota yang kritis? Apakah itu bagian dari visi dan misi? Semoga tidak. Namun kenyataannya, tidak sedikit organisasi yang dengan terang-terangan meminggirkan mereka yang dianggap mengganggu “kestabilan”. Ironisnya, stabilitas dianggap mutlak, hingga lupa mengapa organisasi itu dibentuk sejak awal.

Menariknya, tindakan menyingkirkan anggota “berisik” ini adalah represif dan tidak perlu. Apa yang terjadi jika organisasi kehilangan anggota yang cerdas? Alvesson dan Spicer (2012) dalam artikelnya “A Stupidity-Based Theory of Organizations” mengulas bagaimana hilangnya intelektualitas pada organisasi yang hanya menginginkan kedamaian, menghindari riak kecil, dan cenderung bersikap non-reseptif.

Fenomena ini kerap muncul pada organisasi modern yang mengklaim sebagai “anak muda”, tetapi praktiknya justru membungkam pemikiran kritis. Padahal, salah satu tujuan berorganisasi adalah menumbuhkan pikiran kritis. Alvesson dan Spicer menyebut praktik ini sebagai “kebodohan fungsional”: ketika pemimpin gagal membangun pola kognitif yang memperkaya intelektualitas organisasi, memilih repetisi program lama demi “keberhasilan” jangka pendek, tanpa inovasi.

Akibatnya, kritik dianggap sebagai ancaman, padahal kritik justru berperan memperbaiki keadaan dan mendorong perubahan. Banyak organisasi seolah hanya mengejar stabilitas semu, tanpa menimbang perkembangan jangka panjang. Terutama organisasi kemahasiswaan, yang seharusnya menjadi wadah pengembangan intelektual, menumbuhkan ide segar, dan memberi dampak bagi anggota secara keseluruhan.

Ini menjadi autokritik penting: kritik harus dipelihara, dijaga, dan dilestarikan agar anggota tidak jatuh ke dalam kebodohan fungsional, yang menyebabkan visi dan misi berjalan di tempat. Terlebih di era dinamis dan serba digital saat ini, di mana AI (kecerdasan buatan) bisa membantu kerangka berpikir, apakah intelektualitas organisasi hanya akan digantikan mesin? Pertanyaan ini harus dijawab organisasi itu sendiri. Jika struktur dari atas ke bawah miskin ide, integritas pola pikir perlu diuji ulang.

Memang, organisasi yang tenang dan minim riak terlihat damai jangka pendek. Namun konsekuensi jangka panjangnya adalah stagnasi dan terhambatnya perkembangan. Oleh karena itu, kritik ringan sekalipun harus diakomodir agar program dan visi misi berjalan mulus.

Yang paling menantang adalah mengelola bayang-bayang senior yang sudah demisioner tetapi masih ikut campur, yang justru memupuk kebodohan fungsional. Organisasi tidak boleh sekadar menjadi tempat ngopi, merokok, atau numpang tidur. Organisasi harus menjadi ruang bertukar ide, informasi, dan menumbuhkan intelektualitas.

Coba pikirkan: apa gunanya berorganisasi jika tidak berdampak pada individu dan anggota? Apa gunanya berorganisasi jika tidak menumbuhkan gebrakan dan inovasi? Jangan sampai kebodohan fungsional mengakar dan menghambat kemampuan berpikir kritis anggotanya.

Penulis: Muhammad Guruh Nuary
Dosen Universitas Muhammadiyah Tangerang, Anggota Serikat Pekerja Kampus (SPK), Mahasiswa S3 Unika Atma Jaya. (*)

LAINNYA