Diplomasi Ekspor Udang: Kepentingan Ekonomi dan Tantangan di Pasar AS

waktu baca 6 minutes
Senin, 22 Des 2025 09:25 0 Nazwa

OPINI | TD – Indonesia merupakan salah satu produsen udang terkemuka di dunia. Komoditas ini menjadi tulang punggung sektor perikanan nasional dan menyumbang devisa negara dalam jumlah besar. Beragam penelitian menunjukkan bahwa udang mendominasi nilai dan volume ekspor hasil laut Indonesia. Secara umum, tren ekspor menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, ditandai dengan surplus neraca perdagangan sektor perikanan selama beberapa tahun terakhir. Meski begitu, pertumbuhan ekspor udang masih dihadapkan pada sejumlah tantangan, baik di sisi hulu seperti terbatasnya benih unggul dan tingginya harga pakan, maupun di hilir seperti keberadaan hambatan dagang non-tarif di pasar global.

Amerika Serikat menjadi mitra dagang yang sangat penting bagi ekspor udang Indonesia. Negara ini merupakan pasar tujuan utama, menyerap mayoritas volume ekspor udang nasional setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2024 sekitar 63% ekspor udang Indonesia dikirim ke AS. Nilai transaksi ekspor produk perikanan ke pasar ini mencapai sekitar US$1,9 miliar, atau hampir sepertiga dari total ekspor sektor perikanan nasional. Tingginya konsumsi udang di AS yang melebihi 500 ribu ton per tahun menegaskan posisi strategis pasar ini. Namun, ketergantungan tersebut menimbulkan risiko besar, sebab setiap gangguan di pasar AS dapat berdampak langsung terhadap pendapatan eksportir, petambak, serta ekonomi perikanan secara keseluruhan.

Tantangan besar datang pada pertengahan 2025, ketika ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat terganjal oleh isu keamanan pangan. Pihak Bea Cukai dan Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) mendapati kandungan isotop radioaktif Cesium-137 (Cs-137) dalam sebagian pengiriman udang beku asal Indonesia. FDA segera mengeluarkan peringatan kepada masyarakat agar tidak mengonsumsi produk yang terindikasi dan mencantumkan beberapa perusahaan pengolah dalam daftar import alert, yang berarti produk mereka tidak diperkenankan masuk ke wilayah AS. Meskipun tidak berupa tarif, kebijakan keamanan pangan yang sangat ketat ini berfungsi layaknya hambatan perdagangan.

Insiden Cs-137 tersebut sempat mengguncang dunia perudangan nasional. Permintaan dari pembeli di AS menurun drastis, harga udang di tingkat petambak jatuh, dan banyak petambak mengalami kerugian karena produk mereka tak terserap pasar. Merespons hal ini, pemerintah Indonesia langsung bertindak. Investigasi lintas-lembaga dilakukan dan terungkap bahwa sumber kontaminasi bukan berasal dari budidaya udang, melainkan dari limbah industri logam di kawasan Cikande, Banten. Paparan radionuklida ditemukan di area pabrik besi tua yang tidak berkaitan langsung dengan rantai produksi udang. Temuan ini menjadi pijakan dalam meyakinkan otoritas AS bahwa isu kontaminasi dapat ditangani secara menyeluruh dari dalam negeri.

Menghadapi situasi tersebut, Indonesia mengerahkan seluruh kekuatan diplomasi ekonominya. Komunikasi intensif dilakukan dengan FDA untuk mencari solusi agar jalur ekspor kembali terbuka. Negosiasi berlangsung melalui kanal diplomatik perdagangan, dengan dukungan dari perwakilan Indonesia di Washington. Upaya tersebut membuahkan hasil: pemerintah AS mengapresiasi respons cepat Indonesia dan menyepakati bahwa ekspor dapat kembali berjalan dengan sistem pengawasan tambahan. Pada akhir Oktober 2025, hanya beberapa bulan pasca kejadian, ekspor udang ke AS kembali diizinkan di bawah skema kontrol ketat.

Untuk memastikan ekspor udang sesuai standar yang diminta AS, Indonesia menerapkan pendekatan kolaboratif antar-lembaga. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggandeng BAPETEN, BRIN, Bea Cukai, dan BPOM untuk membentuk satuan tugas penanganan kasus Cs-137. Satgas ini bertugas menjamin penanganan kontaminasi serta memastikan produk ekspor memenuhi regulasi yang ditetapkan. Menteri Perdagangan turut mengoordinasikan penyelidikan teknis bersama KKP dan lembaga lainnya sebagai bentuk diplomasi teknis di lapangan.

Melalui kerja sama tersebut, FDA mengakui kemampuan Indonesia dalam melakukan pengujian residu radioaktif. Empat laboratorium dalam negeri milik BRIN, BAPETEN, dan dua lainnya disetujui FDA untuk menguji kadar Cs-137. KKP sebagai otoritas mutu hasil perikanan ditunjuk untuk menerbitkan sertifikat kesehatan (health certificate) yang menyatakan produk bebas dari kontaminasi. Setiap batch ekspor harus melalui uji laboratorium dan pemindaian dengan validasi dari BAPETEN dan pakar nuklir dari BRIN. Proses ini terus dikawal agar efisien, akurat, dan sesuai dengan ketentuan FDA.

Hambatan ekspor udang Indonesia bukan hanya terjadi sekali. Sebelumnya, Indonesia pernah dituduh melakukan praktik dumping dan memberikan subsidi oleh kalangan industri udang AS. Misalnya pada tahun 2012, koalisi industri udang domestik AS (COGSI) mengklaim bahwa Indonesia memberikan subsidi sehingga harga udang menjadi tidak wajar murah. Pemerintah Indonesia membantah tuduhan itu, menyatakan bahwa bantuan kepada petambak lebih ditujukan untuk mendukung ketahanan pangan nasional, bukan memanipulasi harga ekspor. Isu ini berhasil diselesaikan lewat jalur bilateral, bahkan AS akhirnya menyimpulkan tidak ditemukan subsidi ekspor dan membatalkan penerapan bea masuk tambahan.

Namun, persoalan serupa muncul kembali pada Oktober 2023. Kali ini Asosiasi Pengolah Udang AS (ASPA) mengajukan petisi antidumping terhadap udang beku Indonesia. Mereka menuduh bahwa produk Indonesia dijual di bawah harga pasar wajar dan meminta pengenaan bea masuk antidumping sebesar 37%. Situasi ini mengejutkan para eksportir karena AS adalah pasar utama udang Indonesia.

Bahkan, selama proses investigasi, sejumlah pembeli AS dilaporkan menahan 30% dari pembayaran sebagai jaminan, yang berdampak pada likuiditas eksportir dan harga beli dari petambak lokal. Menyikapi hal ini, pemerintah kembali mengaktifkan diplomasi ekonomi. Kementerian Perdagangan dan KKP bersama asosiasi seperti Shrimp Club Indonesia dan AP5I segera menyusun strategi pembelaan, termasuk opsi membawa kasus ke WTO jika diperlukan.

Rangkaian pengalaman di atas mencerminkan bahwa urusan ekspor udang tak lepas dari konteks politik luar negeri Indonesia. Diplomasi ekonomi menjadi alat penting untuk mempertahankan akses pasar, mengatasi hambatan, dan mendorong keberlanjutan ekspor. Standar keamanan pangan dihadapi lewat pendekatan ilmiah dan diplomatik, sedangkan tuduhan dumping dijawab dengan strategi hukum dan lobi perdagangan. Penelitian dari Kementerian Perdagangan bahkan menunjukkan bahwa hambatan non-tarif seperti regulasi teknis dan sanitasi dapat memangkas volume ekspor udang hingga 20-30%.

Untuk itu, diplomasi perdagangan terus diintensifkan. Negosiasi dagang, komunikasi teknis, dan penyesuaian regulasi domestik dengan standar internasional menjadi kunci. Studi akademik menyarankan agar Indonesia memperluas kerja sama bilateral dan perjanjian dagang guna mengamankan keberlanjutan ekspor udang. Praktik ini terbukti efektif, seperti dalam penanganan kasus Cs-137 maupun respons atas tuduhan antidumping.

Sebagai komoditas ekspor unggulan bernilai tinggi, udang tidak hanya menjadi urusan ekonomi, tapi juga bagian dari strategi politik luar negeri. Peran diplomasi Indonesia sangat krusial dalam membuka peluang pasar, menangkis hambatan dagang, dan memastikan keberlanjutan industri udang nasional dalam skala global.

Penulis: Nadia Suci Ramadhanita, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 

Sumber

Ardiyanti, S. T., & Saputri, A. S. (2018). Dampak non-tariff measures (NTMs) terhadap ekspor udang Indonesia. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, 12(1), 49–58. https://jurnal.kemendag.go.id/bilp/article/view/109

Badan Pengawas Tenaga Nuklir. (2025, Oktober). Konferensi Pers Satgas Penanganan Cs-137: Ekspor Udang dan Cengkeh Indonesia ke AS Aman. https://bapeten.go.id

JALA Tech. (2023, Oktober 27). Unraveling the impact of dumping allegations and CVD to Indonesia’s shrimp industry. https://blog.jala.tech/en/unraveling-the-impact-of-dumping-allegations/

Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. (2025, Oktober 24). KKP upayakan kemudahan sertifikasi Cesium 137, empat lab penguji sudah disetujui FDA. https://kkp.go.id/artikel/4562

Roby, R. S., Adhi, S., & Rahmawati, F. (2023). Hambatan dan upaya meningkatkan ekspor udang di Indonesia. Journal of Economics and Management, 1(3), 53–72. https://doi.org/10.5281/zenodo.8223665

Tasyarani, N. M. (2025, Oktober 10). US flags Indonesian shrimps over radiation concerns. The Jakarta Post/Asia News Network. https://www.thejakartapost.com

Arumingtyas, L. (2025, Oktober 25). Upaya Indonesia pulihkan ekspor udang pasca paparan radioaktif. Mongabay Indonesia. https://www.mongabay.co.id. (*)

LAINNYA