Personel Satpol PP Kota Tangerang melakukan kegiatan penegakan Perda No. 5 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen, beberapa waktu yang lalu. (Foto: Instagram @polpp.tangerang)OPINI | TD — Siang, malam, sore—kota ini tak pernah benar-benar tidur. Jalanan Tangerang selalu ramai oleh langkah tergesa orang-orang yang berangkat kerja atau pulang dengan wajah lelah. Lampu lalu lintas bergantian menyala tanpa jeda, seolah tak kenal lelah mengatur arus kendaraan yang terus mengalir seperti sungai yang tak pernah surut. Di tengah hiruk-pikuk dan kilau lampu kota, ada sisi lain yang sering luput dari pandangan: kehidupan di balik bayang gedung-gedung tinggi.
Di antara pepohonan rindang dan trotoar yang sibuk, terbentang selembar kardus yang menjadi “kasur” bagi mereka yang tak punya rumah. Tubuh-tubuh lelah itu berbaring di atasnya—bukan karena menunggu kendaraan pulang, tapi karena di sanalah satu-satunya tempat yang mereka sebut tempat beristirahat.
Ketika sebagian warga menutup hari di rumah yang hangat dan nyaman, sebagian lainnya justru menatap langit terbuka, mencoba memejamkan mata di bawah bising kendaraan dan lampu jalan. Mereka tidur di trotoar, di dalam gerobak, di bawah jembatan, bahkan di taman kota—tempat yang bagi sebagian orang hanyalah tempat singgah, tapi bagi mereka adalah rumah.
Kawasan Pasar Anyar dan sekitar Stasiun Tangerang menjadi saksi bisu dari kehidupan para tunawisma ini. Setiap malam, pemandangan yang sama terulang: beberapa orang duduk di tepi jalan, menatap kosong ke arah kendaraan yang melintas. Ada yang muda, ada yang renta—semuanya terikat oleh nasib yang sama.
Ironis, di tengah laju pembangunan kota yang kian pesat—gedung-gedung menjulang, taman kota diperindah—masih ada mereka yang hidup di antara bayangan beton. Mereka tidak hilang, hanya tak terlihat.
Sesekali, simpati datang. Ada warga yang berhenti sejenak, menyodorkan makanan atau sekadar uang receh. Namun kebaikan itu datang seperti angin malam—singgah sebentar, lalu pergi tanpa sempat mengubah banyak hal.
Di siang hari, sebagian tunawisma berpencar. Ada yang menjadi pemulung, ada yang mengamen, ada pula yang sekadar berjalan tanpa tujuan. Saat malam turun, mereka kembali ke tempat yang sama—di bawah langit terbuka, di antara deru mesin dan dinginnya aspal.
Tak jauh dari lampu merah di pusat kota, seorang anak kecil berjalan pelan di antara deretan kendaraan. Di tangannya, selembar amplop bertuliskan kalimat yang memohon belas kasih. Panas mesin mobil dan teriknya matahari tak menyurutkan langkahnya. Dari kejauhan, seorang ibu duduk di bawah pohon, memperhatikan. Ia menunggu hasil jerih payah si kecil—bukan karena ingin memaksa, tapi karena itu satu-satunya cara mereka bertahan hidup.
Ada pula seorang ibu muda yang menggendong bayi, mengetuk kaca mobil sambil menawarkan jasa membersihkan kaca dengan kemoceng kecil. Pandangan orang-orang beragam—ada iba, ada risih, ada yang pura-pura tak melihat. Tapi satu hal pasti: di balik setiap aksi itu, tersimpan kisah perjuangan melawan lapar dan nasib yang tak berpihak.
Pemerintah Kota Tangerang sejatinya telah berupaya. Program penertiban, pembinaan sosial, hingga penyaluran ke panti telah dilakukan. Namun, persoalan ini bukan sekadar tentang tempat tidur atau makan sehari. Ini tentang ruang hidup, kesempatan, dan masa depan yang sering kali tak sempat mereka gapai.
Kota Tangerang memang tengah berbenah—menuju kota modern dan layak huni. Tapi pembangunan sejati tak hanya diukur dari tinggi gedung atau indahnya taman kota. Ia diukur dari seberapa banyak wajah yang tersenyum, bukan seberapa banyak yang bersembunyi di balik bayangan trotoar.
Sebab di balik gemerlapnya kota ini, masih ada mereka yang hidup dalam diam, menunggu secercah perhatian. Mereka bukan sekadar bayangan di jalanan—mereka adalah bagian dari Tangerang itu sendiri, manusia yang juga ingin punya tempat untuk pulang.
Penulis: Kirana Iksan
Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Tangerang. (*)