SASTRA | TD – Menafsirkan sebuah puisi merupakan usaha untuk memahami makna dari kata-kata yang tersusun membentuk larik dan bait. Tentunya hal ini melibatkan berbagai aspek analisa. Di antaranya struktur dan gaya bahasa, pantulan emosi, dan latar belakang sejarah atau budaya yang melingkupi kehidupan penulis. Serta dua lapis makna yang saling melengkapi, yakni figuratif dan literal.
Dalam artikel ini, penulis menyajikan tafsir puisi Chairil Anwar dari puisi “Derai-derai Cemara” yang merupakan apresiasi terhadap pelopor puisi modern Indonesia tersebut.
Derai-Derai Cemara
Karya: Chairil Anwar
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
Batavia, 1949
Puisi “Derai-Derai Cemara” merupakan karya sastra modern yang menyimpan kedalaman eksistensial yang sunyi dan getir. Dalam larik-lariknya, Chairil Anwar seperti menulis catatan rahasia menjelang kematiannya sendiri. Bukan dengan teriakan, melainkan melalui getar senyap di sudut nestapa. Larik-larik yang tampak sederhana itu sejatinya menyusun simfoni pelan tentang waktu, luka, dan penerimaan.
Berikut ini adalah tafsir sastrawi atas tiap larik utama yang dibaca layaknya potongan fragmen batin Chairil Anwar (aku lirik) di ambang masa kehidupannya:
Makna:
Cemara adalah pohon yang berkarakter sunyi. Dahan-dahannya ramping, dedaunnya tajam, dan kehadirannya selalu menyiratkan musim gugur. Chairil memilihnya bukan hanya karena bentuk fisik, tapi karena ia mencerminkan kerapuhan yang tampak indah dari kejauhan. “Menderai” menyiratkan perpisahan pada serpihan waktu yang gugur. Seperti denyut kehidupan yang perlahan-lahan menghilang.
Makna:
Malam selalu mengandung simbol gelap, diam, akhir, dan peristirahatan. Di sini, si aku lirik tengah menatap sisa senja hidupnya. Ia tahu bahwa matahari batinnya akan segera padam. Ini bukan ketakutan, tapi semacam kepekaan eksistensial akan batas waktu.
Makna:
Tingkap adalah celah kecil menuju luar. Dahan merapuh di dekatnya menunjukkan tubuh yang mulai lelah, waktu yang mulai lapuk. Batin si penyair memandang dunia luar melalui bingkai tubuhnya sendiri yang mulai runtuh pelan-pelan.
Makna:
Angin adalah kekuatan tak kasat mata. Namun ketika tersembunyi dan tiba-tiba menghantam, ia melukai lebih dalam. Chairil merujuk pada tekanan batin, luka yang tidak tampak namun terus berdesir di dalam dan menghantam kesadaran.
Makna:
Ini kalimat pendewasaan dari si aku lirik. Chairil menyatakan bahwa kini ia bisa menahan semua luka, bukan karena tidak sakit, tetapi karena sudah terbiasa. Kematangan eksistensial lahir dari luka yang tidak lagi mengaduh.
Makna:
Ini adalah kalimat penguatan dari larik sebelumnya. Ia telah jauh meninggalkan masa kanak-kanak, masa yang terbebas dari kesadaran akan waktu dan kematian. Kini ia berdiri dalam dunia yang berat, yaitu dunia sadar, dunia dewasa dan dunia fana.
Makna:
Ada masa lalu yang masih ia ingat. Mungkin itu harapan atau semangat muda atau cinta yang tulus. Sesuatu yang kini telah menjadi bahan usang dalam ingatannya.
Makna:
Masa lalu itu tidak lagi relevan pada saat ini. Ia tidak lagi mendasarkan hidup pada romantisme ideal masa lalu. Kini ia hidup dengan lebih sadar bahwa hidup itu tak bisa ditakar dengan harapan kosong.
Makna:
Inilah tesis utama dari puisi ini. Chairil tidak sedang bersikap sinis pada dirinya sendiri namun ia sedang jujur. Hidup manusia adalah jalan menuju akhir, dan kematian adalah kekalahan yang harus diterima. Bukan sebagai tragedi, tapi sebagai kodrat.
Makna:
Chairil membandingkan dengan masa paling polos dalam hidupnya seperti cinta semasa sekolah dasar. Cinta yang dulu murni kini terasa asing karena hidup telah mengubah cara pandangnya terhadap relasi, afeksi, dan kepercayaan.
Makna:
Ada rasa yang terlalu dalam untuk disuarakan. Barangkali luka, atau rasa kehilangan, atau cinta yang tak tergapai. Chairil tahu bahwa tidak semua yang dirasa akan bisa untuk dijelaskan. Dan justru karena itulah puisi ini begitu manusiawi.
Makna:
Inilah penutup yang paling sunyi. Chairil harus menerima suatu kenyataan bahwa pada akhirnya manusia akan menyerah bukan karena kalah, melainkan karena waktunya memang sudah tiba. Ia tidak sedang memberontak, tapi bersiap untuk melepaskan.
Chairil Anwar menulis “Derai-Derai Cemara” bukan sebagai puisi biasa menjelang akhir masa hidupnya. Ia menuliskannya sebagai refleksi akhir seorang manusia yang telah melintasi harapan, luka, dan waktu—dan kini bersiap untuk menghadapi takdir yang tak terhindarkan.
Puisi ini bukanlah ratapan,
Tapi persiapan.
Bukan ketakutan, Tapi perenungan.
Dan bukan membahas tentang kematian,
Tapi kesadaran akan hidup yang telah dijalani.
Baca juga dari “Derai-Derai Cemara ke Yang Terampas dan Yang Putus”.
Penulis: Sugeng Prasetyo
Editor: Patricia