OPINI | TD — Pemilu 2024 menjadi salah satu peristiwa politik paling menentukan dalam perjalanan demokrasi Indonesia pascareformasi. Kemenangan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menandai perubahan besar dalam lanskap politik nasional. Namun di balik euforia kemenangan itu, muncul pertanyaan mendasar: ke mana arah demokrasi Indonesia akan dibawa di era Prabowo?
Pencalonan Gibran, yang masih berusia di bawah 40 tahun, menjadi simbol pergeseran paradigma politik sekaligus sumber perdebatan publik. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah batas usia minimum calon wakil presiden dianggap sebagian kalangan sebagai pintu masuk politik dinasti. Namun bagi pendukungnya, keputusan itu adalah bentuk regenerasi politik dan kesempatan bagi generasi muda untuk ikut menentukan masa depan bangsa. Kontroversi ini memperlihatkan bahwa demokrasi Indonesia tengah menghadapi ujian serius: bagaimana menyeimbangkan antara pembaruan dan keadilan.
Dalam negara demokratis, lembaga peradilan seperti Mahkamah Konstitusi (MK) berperan penting menjaga integritas sistem politik. Namun keputusan MK dalam perkara batas usia calon wakil presiden justru memunculkan keraguan publik terhadap netralitas lembaga hukum. Ketika keputusan yang sangat politis disahkan oleh lembaga yang seharusnya independen, kepercayaan publik pun tergerus.
Meski begitu, demokrasi tidak berhenti pada satu keputusan hukum. Sistem demokrasi memberi ruang bagi rakyat untuk menilai, mengawasi, dan mengoreksi kekuasaan. Tantangan bagi pemerintahan Prabowo adalah membangun kembali kepercayaan publik terhadap institusi negara dengan menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Tanpa itu, demokrasi akan kehilangan makna substantifnya dan terjebak dalam formalitas prosedural semata.
Pemilu 2024 juga memperlihatkan perubahan besar dalam strategi komunikasi politik. Pasangan Prabowo–Gibran berhasil menguasai ruang digital dengan kampanye yang mengedepankan citra positif, kesederhanaan, dan kedekatan dengan pemilih muda. Prabowo tampil sebagai sosok nasionalis dan tegas, sementara Gibran membawa semangat muda, modern, dan “melek internet”.
Namun keberhasilan membangun citra ini menimbulkan kekhawatiran baru: demokrasi yang terlalu bergantung pada politik visual dan personal branding. Di tengah banjir informasi media sosial, substansi kebijakan kerap terpinggirkan. Demokrasi pun berisiko bergeser menjadi ajang popularitas ketimbang arena deliberasi publik yang sehat. Jika hal ini terus berlanjut, rakyat tidak lagi menjadi aktor utama, melainkan penonton dalam pertunjukan politik yang dikendalikan oleh algoritma dan buzzer.
Demokrasi tidak dapat hidup di tengah ketimpangan. Indonesia masih menghadapi kesenjangan sosial dan ekonomi yang tajam, yang pada akhirnya memengaruhi kualitas partisipasi politik rakyat. Demokrasi sejati menuntut kesetaraan akses terhadap pendidikan, informasi, dan kesempatan ekonomi.
Pemerintahan Prabowo perlu memastikan bahwa pembangunan ekonomi berjalan seiring dengan pemberdayaan masyarakat. Partisipasi politik rakyat tidak boleh berhenti di bilik suara, tetapi harus diperluas dalam proses perumusan dan evaluasi kebijakan publik. Dalam hal ini, pendidikan politik dan transparansi menjadi kunci utama untuk membangun masyarakat yang kritis dan sadar hak-haknya.
Demokrasi tanpa kebebasan berpendapat adalah kontradiksi. Pemerintahan yang demokratis semestinya berani dikritik dan mau mendengarkan rakyatnya. Jika ruang kebebasan sipil dipersempit, maka demokrasi hanya akan menjadi formalitas. Di sisi lain, kebebasan juga harus diimbangi dengan tanggung jawab. Media massa dan masyarakat sipil perlu berperan aktif sebagai pengawas kebijakan, bukan sekadar pengulas politik.
Keseimbangan antara kekuasaan dan kebebasan menjadi penentu masa depan demokrasi di era Prabowo. Jika pemerintah mampu menjaga kebebasan berekspresi sambil memastikan stabilitas politik, maka demokrasi Indonesia akan tumbuh semakin matang. Namun bila kekuasaan justru digunakan untuk memperkuat elit dan menekan kritik, maka cita-cita reformasi berpotensi tergerus.
Sebagai bangsa majemuk, demokrasi Indonesia harus berakar pada nilai-nilai Pancasila — bukan hanya sekadar sistem politik, tetapi juga sarana menjaga persatuan dalam keberagaman. Pemerintahan Prabowo perlu menjadikan perbedaan sebagai kekuatan, bukan sumber perpecahan. Demokrasi Indonesia bukanlah tiruan dari Barat, melainkan hasil pergulatan sejarah bangsa yang menempatkan musyawarah, gotong royong, dan keadilan sosial sebagai fondasi utamanya.
Rakyat Indonesia menaruh harapan besar pada pemerintahan baru ini — harapan akan pemerintahan yang jujur, adil, dan berpihak kepada kebenaran. Jika Prabowo mampu menjawab harapan itu, demokrasi Indonesia akan memasuki babak baru yang lebih matang dan berkeadilan. Namun jika demokrasi hanya dijadikan legitimasi untuk mempertahankan kekuasaan, cita-cita reformasi akan kembali terancam.
Menjaga demokrasi bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab seluruh rakyat. Demokrasi sejati hanya bisa hidup bila rakyat terus mengawal nilai-nilai kebebasan, keadilan, dan persatuan bangsa. Sebab pada akhirnya, demokrasi bukan milik penguasa, melainkan milik rakyat yang berani bersuara dan menuntut keadilan.
Penulis: Leni Agustin, Mahasiswa Semester 1 Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Untirta. (*)