OPINI | TD – Demokrasi Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius: berjalan secara formal, tetapi kehilangan makna substansialnya. Di balik gemerlap pesta pemilu dan slogan kebebasan politik, suara rakyat kerap tenggelam, sementara kepentingan elit mendominasi arena politik.
Indonesia sering disebut sebagai demokrasi terbesar ketiga di dunia. Namun, pengalaman nyata menunjukkan adanya defisit demokrasi substansial. Pemilu sering menjadi ajang pertarungan kekuasaan berbasis popularitas dan modal, bukan gagasan atau kerja politik. Partai politik, yang seharusnya menjadi saluran aspirasi rakyat, justru terjebak dalam pragmatisme jangka pendek. Banyak wakil rakyat melupakan tanggung jawab moralnya, sehingga demokrasi berubah menjadi ritual hampa makna.
Politik uang, manipulasi opini publik, dan lemahnya partisipasi masyarakat menjadi bukti bahwa demokrasi kita sakit, bukan di tubuhnya, tetapi di jiwanya. Rakyat seolah memiliki hak suara, tetapi aspirasi mereka jarang diakomodasi dalam proses pengambilan keputusan. Budaya politik hierarkis dan feodalistik mempersempit ruang partisipasi, sehingga kepercayaan publik terhadap lembaga demokrasi menurun.
Demokrasi bukan hanya hak untuk memilih, tetapi kewajiban untuk mengkritik, mengawasi, dan menuntut keadilan. Sayangnya, sebagian masyarakat masih terjebak politik transaksional dan fanatisme sempit. Identitas dan uang menjadi senjata kampanye, sementara debat visi dan program tersisih. Akibatnya, demokrasi kehilangan arah moralnya dan politik menjadi arena elit semata.
Media massa, yang seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi, juga menghadapi tekanan komersialisasi dan kepentingan politik. Di sisi lain, media sosial membuka ruang partisipasi, tetapi kerap diiringi disinformasi dan polarisasi. Kebebasan informasi tanpa tanggung jawab justru mengancam kualitas demokrasi. Masyarakat dituntut lebih kritis dalam memilah informasi agar tidak mudah terjebak opini menyesatkan.
Perbaikan demokrasi membutuhkan langkah nyata dari semua pihak. Pendidikan politik harus diperkuat sejak dini, melatih berpikir kritis dan berani berpendapat. Lembaga negara harus menerapkan transparansi dan akuntabilitas. Proses kebijakan publik harus terbuka, dan pengawasan terhadap pejabat publik diperkuat agar kekuasaan tidak disalahgunakan. Kampus, komunitas, dan media independen dapat menjadi laboratorium demokrasi yang sehat, tempat gagasan dan keberanian berpadu demi kepentingan bangsa.
Demokrasi sejati lahir dari kesadaran kolektif bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hadiah. Kejujuran, akuntabilitas, dan keberpihakan pada rakyat kecil menjadi kunci agar demokrasi hidup dan bermakna. Tanpa partisipasi aktif masyarakat, demokrasi hanya menjadi sandiwara lima tahunan yang meriah tetapi kosong makna.
Defisit demokrasi di Indonesia menunjukkan praktik politik lebih menekankan formalitas daripada substansi. Politik uang, dominasi elit, dan rendahnya partisipasi publik memperlihatkan nilai-nilai demokrasi sejati belum hidup. Perbaikan hanya bisa terjadi jika pemerintah membuka ruang partisipasi luas dan masyarakat berani mengawasi serta bersuara. Demokrasi yang sehat lahir dari kejujuran, tanggung jawab, dan kepedulian bersama. Selama rakyat peduli dan menuntut keadilan, demokrasi Indonesia akan menemukan kembali maknanya yang sesungguhnya.
Penulis: Fenisa Ruth Signora
Mahasiawa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, UNTIRTA. (*)