Dari Hiruk Pikuk ke Kedamaian: Cerita Menepi di Hutan Kota GBK Jakarta

waktu baca 3 minutes
Rabu, 5 Nov 2025 14:57 0 Redaksi

TRAVEL | TD — Sabtu siang itu, langit Jakarta menggantung kelabu, seolah ikut lelah bersama warganya yang sibuk. Di tengah riuh kota yang tak pernah benar-benar berhenti, aku dan Septi Ardina Nuraini sepakat untuk kabur sebentar—bukan ke mal yang penuh lampu buatan, bukan ke kafe yang sibuk dengan denting cangkir dan musik pelan. Kami memilih menepi ke Hutan Kota GBK, sebuah ruang hijau yang sering disebut oase kecil di tengah beton ibu kota.

Begitu melangkah masuk, rasanya seperti berpindah dunia.
Udara mendadak lebih sejuk, meski matahari belum benar-benar sembunyi. Bau tanah lembap bercampur dengan aroma daun basah, dan suara kendaraan yang biasa mendominasi pelan-pelan tergantikan oleh kicau burung serta desir angin yang menyisir pucuk pohon. Di antara pepohonan yang tumbuh rapi, kami berjalan pelan tanpa tujuan pasti—seolah ingin membiarkan waktu mengalir tanpa tekanan.

“Aku cuma pengin duduk dan nggak mikir apa-apa,” kata Septi sambil nyengir.

Aku tertawa kecil. Kalimatnya sederhana, tapi jujur. Mungkin memang itu yang kami cari: bukan tempat hiburan, melainkan ruang untuk diam. Ruang untuk bernapas tanpa beban.

Kami akhirnya berhenti di sebuah bangku kayu di tepi danau buatan. Airnya memantulkan bayangan langit mendung dan gedung-gedung tinggi di kejauhan—simbol kota yang tak pernah benar-benar tidur. Di situ, kami bicara ngalor-ngidul: tentang tugas kuliah yang belum selesai, rencana organisasi, puisi-puisi yang sedang ditulis Septi, dan masa depan yang masih samar.

“Kadang aku ngerasa capek banget. Tapi kalau kayak gini, aku inget lagi kenapa kita jalanin semua ini,” ucap Septi pelan, matanya menatap ke arah langit yang berubah jingga.

Aku terdiam sesaat sebelum menjawab,

“Iya. Kadang kita cuma butuh berhenti sebentar biar bisa lanjut lagi.”

Kalimat itu menggantung di udara, bersamaan dengan hembusan angin sore. Mungkin begitulah hidup di kota besar: serba cepat, serba terburu, hingga lupa memberi ruang untuk diam. Tapi di Hutan Kota GBK, waktu terasa berjalan dengan ritme yang lebih manusiawi.

Anak-anak berlarian di rumput, pasangan muda duduk berdua di bawah pohon, dan seorang bapak tua tampak khusyuk membaca buku di bangku seberang. Semua tampak larut dalam kesunyian yang tidak sepi—kesunyian yang justru menenangkan.

Sore itu, kami tak bicara banyak lagi. Hanya duduk, memperhatikan langit yang pelan-pelan berubah warna, mendengar gesekan daun, dan merasakan bumi bernafas. Di tengah kelelahan yang seringkali tak sempat diakui, kehadiran tempat seperti Hutan Kota GBK terasa seperti pengingat kecil: bahwa manusia butuh jeda.

Menepi bukan berarti menyerah. Kadang, itu justru cara terbaik untuk kembali menemukan arah.

Hutan Kota GBK bukan tempat pelarian, melainkan ruang pemulihan—tempat di mana kita bisa jadi diri sendiri tanpa tuntutan produktivitas, tanpa kebisingan notifikasi, tanpa harus terlihat kuat.

Ketika matahari tenggelam dan lampu-lampu stadion mulai menyala, kami pun berdiri, bersiap pulang. Rasanya tubuh lebih ringan, pikiran lebih jernih.

Aku tersenyum ke arah Septi, “Kapan-kapan kita ke sini lagi, ya.”
Dia mengangguk, “Iya. Kadang yang kita butuhin cuma duduk bareng alam, biar hati tenang lagi.”

Dan benar, di tengah hiruk pikuk Jakarta, Hutan Kota GBK bukan sekadar taman. Ia adalah ruang untuk kembali jadi manusia—penuh, sadar, dan utuh.

Penulis: Farihah Oemardi
Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Tangerang. (*)

LAINNYA