Dari Balaraja ke Rangkasbitung: Menemukan Suara Rakyat di Museum Multatuli

waktu baca 5 menit
Minggu, 12 Jan 2025 22:29 0 24 Redaksi

TRAVEL | TDPerjalanan saya menuju Museum Multatuli di Rangkasbitung dimulai pada sore hari yang cerah dari Balaraja, Tangerang, Sabtu, 2 November 2024. Dengan semangat yang membara, saya berangkat sekitar pukul 3 sore, melintasi jalan raya yang cukup ramai. Jalan tol Tangerang-Merak menjadi pilihan utama, menawarkan jalur lebar dan mulus, meskipun saya harus berhati-hati menghadapi beberapa titik macet ringan menjelang sore.

Saat menjauh dari keramaian kota, pemandangan pedesaan mulai menyapa, dengan ladang hijau dan rumah-rumah sederhana yang tersebar di sepanjang perjalanan. Jalanan menuju Serang dan Rangkasbitung tidak terlalu ramai, namun cukup nyaman untuk dilalui, meskipun suasana mulai gelap saat saya semakin dekat dengan tujuan.

Setelah sekitar dua jam perjalanan, saya tiba di kota Rangkasbitung, yang memancarkan nuansa khas kota kecil yang damai dan kaya tradisi. Terletak di Kabupaten Lebak, Banten, Rangkasbitung mungkin tidak sebesar kota-kota lain di Jawa Barat, tetapi menyimpan banyak cerita penting dalam sejarah Indonesia. Salah satunya adalah Museum Multatuli, tujuan utama saya. Museum ini terletak di pusat kota, tidak jauh dari stasiun Rangkasbitung, di sebuah bangunan bersejarah yang dulunya merupakan rumah tempat tinggal Eduard Douwes Dekker, yang lebih dikenal dengan nama pena Multatuli.

Gedung Museum Multatuli. (Foto: Dok. Penulis)

Multatuli dikenal sebagai seorang pejabat kolonial yang beralih menjadi penulis dan kritikus tajam terhadap kebijakan penjajahan Belanda, terutama dalam perlakuan terhadap rakyat Indonesia yang terpinggirkan. Museum ini menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya, serta tempat yang menyimpan berbagai kisah dan artefak sejarah yang sangat penting.

Setelah tiba, saya langsung memasuki museum dengan arsitektur klasik kolonial yang memikat. Begitu melangkah ke ruang utama, saya disambut oleh koleksi-koleksi berharga yang mengisahkan perjalanan hidup Multatuli. Di dalamnya terdapat berbagai manuskrip asli karya Multatuli, termasuk novel terkenalnya, Max Havelaar, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1860. Novel ini menjadi kritik tajam terhadap eksploitasi masyarakat pribumi oleh pemerintah kolonial Belanda, menggambarkan penderitaan petani kopi di Lebak yang dibebani pajak tinggi dan diperlakukan secara kejam oleh tuan tanah Belanda. Max Havelaar menjadi simbol perjuangan Multatuli melawan ketidakadilan dan penindasan yang dialami rakyat Indonesia pada masa penjajahan.

Salah satu bagian yang paling menarik adalah ruang yang memamerkan salinan pertama Max Havelaar dan surat-surat pribadi Multatuli yang berisi pemikiran serta perjuangannya untuk membela rakyat yang terpinggirkan. Di setiap sudut museum, saya merasakan kehadiran Multatuli yang begitu kuat, tidak hanya melalui karya-karyanya tetapi juga melalui berbagai benda yang menggambarkan kehidupan sosial pada masa penjajahan. Koleksi foto-foto dari masa kolonial memperlihatkan kehidupan masyarakat pada waktu itu, serta barang-barang pribadi yang pernah digunakan oleh Multatuli, memberikan gambaran jelas tentang karakter dan pemikirannya yang cerdas dan berani melawan ketidakadilan.

Menelusuri jejak sejarah di Museum Multatuli, di mana setiap koleksi bercerita tentang perjuangan dan keberanian. Dari manuskrip asli hingga artefak bersejarah, setiap sudut museum ini mengingatkan kita akan pentingnya suara rakyat dan perjuangan melawan ketidakadilan. Mari kita jaga warisan ini dan teruskan semangat perubahan. (Foto: Dok. Penulis)

Museum ini bukan sekadar tempat untuk mempelajari karya sastra, tetapi juga menjadi ruang refleksi tentang sejarah kelam Indonesia dan perjuangan seorang penulis yang berani bersuara untuk rakyat kecil. Kunjungan ke Museum Multatuli memberikan pengalaman mendalam, bukan hanya dalam mengenal sosok Multatuli, tetapi juga dalam memahami konteks sosial-politik Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Melalui karya-karyanya, Multatuli memberikan suara kepada mereka yang tertindas, dan museum ini menyimpan warisan penting yang mengajarkan kita untuk tidak melupakan sejarah serta perjuangan melawan ketidakadilan.

Setelah berkeliling museum, saya duduk sejenak di halaman, merenung tentang betapa besar pengaruh yang dimiliki Multatuli terhadap perubahan sosial di Indonesia dan bagaimana perjuangannya tetap relevan hingga saat ini. Dengan semangat yang tak pernah padam, beliau mengajarkan kita bahwa keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan harus diperjuangkan tanpa henti.

Kunjungan ke Museum Multatuli di Rangkasbitung bukan hanya sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin yang membuka mata dan hati tentang pentingnya menghargai sejarah serta perjuangan mereka yang telah berjuang untuk perubahan yang lebih baik bagi Indonesia. Saat saya kembali ke mobil, saya membawa pulang kenangan indah dan pelajaran berharga, bertekad untuk tidak hanya mengenang sejarah, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan masa depan yang lebih baik bagi bangsa ini.

Saat perjalanan pulang dimulai, saya merenungkan betapa pentingnya untuk terus memperjuangkan hak-hak mereka yang terpinggirkan, seperti yang dilakukan oleh Multatuli. Setiap kilometer yang saya lewati membawa kembali ingatan tentang kisah-kisah yang saya dengar di museum, tentang perjuangan dan pengorbanan yang dilakukan demi keadilan. Saya merasa terinspirasi untuk lebih peka terhadap isu-isu sosial yang masih relevan hingga saat ini, dan bagaimana suara kita dapat menjadi alat untuk perubahan.

Di sepanjang jalan, saya juga teringat akan peran penting pendidikan dalam membentuk kesadaran masyarakat. Museum Multatuli tidak hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan artefak, tetapi juga sebagai pusat edukasi yang mengajak generasi muda untuk memahami dan menghargai sejarah. Saya berharap lebih banyak orang, terutama anak muda, dapat mengunjungi museum ini dan terinspirasi oleh perjuangan Multatuli.

Ketika saya melintasi jalanan yang familiar, saya merasa beruntung telah memiliki kesempatan untuk mengunjungi tempat yang begitu bersejarah. Museum ini bukan hanya sekadar bangunan tua, tetapi merupakan simbol dari perjuangan melawan penindasan dan ketidakadilan. Melalui karya-karya Multatuli, kita diingatkan akan pentingnya suara rakyat dan tanggung jawab kita untuk memperjuangkan keadilan.

Sesampainya di rumah, saya merasa bahwa kunjungan ini telah mengubah cara pandang saya terhadap sejarah dan peran individu dalam masyarakat. Saya bertekad untuk tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga menjadi bagian dari perubahan yang lebih baik. Dengan semangat yang baru, saya ingin berbagi cerita ini dengan orang-orang di sekitar saya, mengajak mereka untuk lebih mengenal sejarah dan memahami pentingnya memperjuangkan hak-hak mereka yang terpinggirkan.

Kunjungan ke Museum Multatuli di Rangkasbitung telah menjadi pengalaman yang tak terlupakan, mengingatkan saya bahwa setiap langkah kecil menuju keadilan adalah bagian dari perjalanan besar untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik. Dengan semangat dan tekad, saya siap untuk melanjutkan perjalanan ini, berkontribusi dalam memperjuangkan suara rakyat dan mengingatkan kita semua akan pentingnya sejarah dalam membentuk masa depan.

Penulis: Alyka Dwi Zahrani, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Tangerang. (*)

LAINNYA