Dampak Putusan MK 2023 terhadap Arah Demokrasi Indonesia di Tengah Gejolak Politik 2025

waktu baca 3 minutes
Sabtu, 18 Okt 2025 08:53 0 Nazwa

OPINI | TD — Pada 2023 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mencetak sejarah sekaligus kontroversi. Satu ketukan palu di ruang sidang mengubah peta politik Indonesia: calon presiden dan wakil presiden kini boleh berusia di bawah 40 tahun, asalkan pernah menjabat sebagai kepala daerah. Keputusan itu disambut bak dua sisi mata uang — di satu sisi dianggap langkah maju bagi regenerasi kepemimpinan nasional, namun di sisi lain dipandang sebagai preseden berbahaya yang menandai kaburnya batas antara hukum dan kepentingan politik.

Kini, dua tahun berselang, gema putusan tersebut masih mengguncang. Tahun 2025 menjadi ajang pembuktian: apakah keputusan MK itu benar-benar membuka ruang bagi politik yang lebih segar, atau justru memperdalam akar dinasti kekuasaan yang kian mengakar? Putusan MK 2023 tak lagi sekadar soal batas usia, tetapi juga simbol tarik-menarik antara idealisme hukum dan realitas politik kekuasaan.

Ketika Independensi Hukum Diuji oleh Kepentingan Kekuasaan

Secara normatif, Mahkamah Konstitusi adalah benteng terakhir konstitusi — lembaga yang diharapkan menjaga kemurnian hukum dari intervensi politik. Namun, putusan tahun 2023 mengundang pertanyaan besar: apakah MK masih berdiri tegak di atas konstitusi, atau mulai goyah di bawah tekanan kekuasaan?

Bagi sebagian kalangan, keputusan tersebut adalah angin segar bagi demokrasi. Generasi muda, yang selama ini hanya menjadi penonton dalam arena politik, akhirnya mendapat ruang untuk berkompetisi. Regenerasi kepemimpinan dianggap penting agar politik Indonesia tak terjebak dalam stagnasi elit yang sama.

Namun di balik optimisme itu, muncul pula gelombang skeptisisme. Publik melihat bahwa wajah muda dalam politik belum tentu membawa semangat baru. Jika tokoh muda yang tampil masih terikat pada jaringan kekuasaan lama, maka regenerasi hanya menjadi kamuflase politik dinasti — pergantian generasi tanpa pergantian nilai. Di sinilah dilema hukum dan politik bertemu: ketika keputusan yang tampak progresif justru memunculkan tanda tanya besar tentang keadilan dan independensi.

Dinamika Politik 2025: Antara Harapan dan Kecurigaan

Tahun 2025 memperlihatkan bagaimana satu keputusan hukum dapat mengubah dinamika politik nasional secara drastis. Wajah-wajah baru bermunculan di panggung kekuasaan, membawa jargon pembaruan dan keberanian anak muda. Namun, di balik retorika itu, masih terasa aroma pragmatisme dan kepentingan lama yang belum sepenuhnya pudar.

Realitas ini mengingatkan publik bahwa demokrasi tidak diukur dari usia para pemimpinnya, tetapi dari nilai yang mereka perjuangkan. Politik seharusnya menjadi ruang gagasan, bukan sekadar panggung warisan. Masyarakat pun mulai memahami bahwa regenerasi politik tanpa transformasi moral hanyalah ilusi perubahan.

Membangun Politik yang Etis dan Partisipatif

Putusan MK 2023 seharusnya menjadi momentum introspeksi bagi semua pihak — dari lembaga hukum, partai politik, hingga masyarakat. Anak muda yang kini memiliki peluang politik lebih besar harus mampu menunjukkan perbedaan substantif, bukan sekadar berganti wajah tanpa berganti perilaku.

Dalam konteks ini, peran masyarakat menjadi sangat krusial. Demokrasi tidak akan sehat tanpa partisipasi rakyat yang sadar dan kritis. Pemilih harus berani mengawasi, mempertanyakan, dan mengkritik setiap bentuk penyimpangan, baik di ranah hukum maupun politik. Ketika rakyat pasif, maka hukum mudah dimanipulasi, dan kekuasaan mudah dipelintir untuk kepentingan segelintir orang.

Penutup: Integritas sebagai Fondasi Demokrasi

Relevansi Putusan MK 2023 di tengah gejolak politik 2025 bukan semata-mata tentang siapa yang boleh mencalonkan diri, tetapi tentang bagaimana hukum dan kekuasaan menegosiasikan makna keadilan.

Hukum yang adil seharusnya berdiri di atas semua kepentingan, bukan menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan. Ketika konstitusi ditafsirkan demi politik, maka kepercayaan publik terhadap lembaga negara pun mulai terkikis. Pelajaran terbesar dari dinamika ini jelas: kekuasaan tanpa integritas hanyalah ambisi, dan hukum tanpa keadilan hanyalah formalitas.

Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar pemimpin muda — ia membutuhkan pemimpin yang berani jujur, berintegritas, dan berpihak pada rakyat. Hanya dengan itulah, semangat reformasi dalam Putusan MK 2023 benar-benar menemukan maknanya.

Penulis: Athlan Ghifari Ramadhan, Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA). (*)

LAINNYA