Dampak Debat Ijazah Jokowi

waktu baca 3 minutes
Selasa, 30 Sep 2025 13:31 0 Nazwa

OPINI | TD — Beberapa waktu terakhir, isu ijazah Presiden Joko Widodo ramai diperbincangkan publik. Ada yang meyakini keasliannya, ada pula yang meragukan. Isu ini cepat menyebar, terutama melalui media sosial. Padahal, jika ditelaah, ijazah seharusnya merupakan urusan pribadi. Namun karena menyangkut seorang presiden, persoalan ini pun berkembang luas hingga memengaruhi dinamika politik, sosial, hingga media.

Fenomena ini menunjukkan satu hal penting: adanya krisis kepercayaan publik terhadap pemimpin. Jika kepercayaan itu masih kuat, isu seperti ijazah tidak akan mudah mengguncang. Tetapi karena rasa curiga sudah ada, hal yang semestinya sederhana pun dapat menjelma menjadi polemik besar.

Sayangnya, energi publik justru terkuras untuk membicarakan persoalan dokumen pribadi, alih-alih fokus pada isu-isu mendesak seperti harga bahan pokok, lapangan kerja, atau mutu pendidikan.

Dampak Politik

Debat soal ijazah membuat suasana politik kian memanas. Lawan politik menjadikannya senjata untuk menyerang, sementara pendukung Jokowi menilainya sekadar fitnah. Alhasil, politik semakin dipenuhi konflik berbasis isu pribadi, bukan perdebatan mengenai gagasan atau kebijakan publik.

Dampak Sosial

Di tingkat masyarakat, perdebatan ini memicu perpecahan. Sebagian orang percaya ijazah itu palsu, sebagian lain menganggapnya isu remeh. Perbedaan pendapat bahkan sampai merenggangkan hubungan antarwarga, keluarga, maupun pertemanan. Alih-alih mempererat persatuan, isu ini justru mengganggunya.

Dampak Media

Isu ijazah Jokowi menjadi komoditas media. Televisi, koran, hingga portal berita terus memberitakan karena dianggap menarik perhatian publik. Di media sosial, isu ini melahirkan meme, hujatan, dan olok-olok. Diskusi sehat justru jarang terjadi, lebih sering bergeser menjadi ajang saling mengejek.

Dampak Kepercayaan Publik

Perdebatan ini memperdalam krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Jika dokumen pribadi presiden saja masih diragukan, tidak heran publik semakin curiga pada isu-isu lain. Masyarakat juga makin mudah mempercayai informasi yang belum terverifikasi. Kondisi ini menunjukkan betapa rapuhnya fondasi kepercayaan publik di Indonesia.

Generasi muda pun terdampak. Sebagian mahasiswa dan pelajar menjadi lebih kritis dan termotivasi mencari kebenaran. Namun tidak sedikit yang mudah terpengaruh opini tanpa dasar. Dari sini, anak muda bisa belajar pentingnya literasi digital: tidak semua informasi di media sosial dapat dipercaya tanpa verifikasi.

Peran Kelembagaan

Kasus ini memperlihatkan pentingnya transparansi dan edukasi publik.

  • Pemerintah perlu lebih terbuka dalam menyediakan informasi resmi agar tidak memberi ruang spekulasi.
  • Perguruan tinggi berperan membekali mahasiswa dengan kemampuan memverifikasi informasi, memahami isu politik, dan menyalurkan kritik secara sehat.
  • Media massa harus kembali pada prinsip jurnalisme bertanggung jawab, tidak sekadar mengejar sensasi. Verifikasi dan akurasi harus diutamakan agar publik mampu membedakan informasi kredibel dari sekadar rumor.

Dengan peran kelembagaan yang kuat, ruang publik akan lebih sehat dan tidak mudah terseret isu melelahkan yang minim manfaat nyata.

Penutup

Debat soal ijazah Jokowi sejatinya bukan hanya tentang sebuah dokumen, melainkan tentang bagaimana masyarakat kita merespons isu politik. Apakah kita memilih larut dalam ricuh dan perpecahan, atau justru menjadikannya kesempatan untuk memperbaiki kualitas demokrasi?

Kasus ini menjadi cermin: politik kita masih mudah diguncang isu personal, kepercayaan publik masih rapuh, dan literasi media masih rendah. Namun di sisi lain, ini juga peluang untuk berbenah—membangun demokrasi yang lebih matang, diskusi publik yang lebih sehat, dan kepemimpinan yang lebih dipercaya.

Penulis: Tiara Fitriana, Mahasiswa Semester 1, Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Untirta. (*)

LAINNYA