OPINI | TD – Seperti yang sering kita dengar, istilah catcalling merujuk pada pelecehan verbal yang terjadi di tempat umum dan mencakup hal-hal seperti siulan, ucapan bernada seksual atau panggilan seksi yang menyasar kepada perempuan. Praktik ini menunjukkan hubungan kekuasaan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan, meskipun tampak tidak penting atau bahkan memperoleh toleransi dalam lingkungan patriarki.
Catcalling tidak hanya tampak sebagai tindakan “nakal” yang biasa terjadi di banyak negara termasuk Indonesia. Tetapi juga terkadang memperoleh maaf dengan argumen bahwa perempuan yang “terlalu terbuka” harus mendapat perlakuan seperti itu. Realitas bahwa catcalling adalah jenis dominasi simbolik yang merampas hak perempuan atas tubuh dan ruang mereka sendiri menjadi tersembunyi oleh strategi ini.
Catcalling terlihat sebagai jenis objektifikasi seksual dan dominasi simbolik yang menegakkan otoritas laki-laki atas tubuh perempuan dalam konteks feminisme kritis. Dalam The Second Sex, Simone de Beauvoir berpendapat bahwa perempuan berada dalam pandangan sebagai “The Others” yang keberadaannya terbentuk dalam hubungan yang tunduk dengan laki-laki ketimbang sebagai pribadi yang utuh. Hubungan ini terihat jelas di mana tubuh perempuan mendapat gambaran sebagai objek publik yang menjadi sasaran kritik dan komentar ketimbang sebagai makhluk yang mandiri.
Gayatri Spivak memperluas analisis ini dengan menunjukkannya melalui konsep subaltern. Yaitu bahwa perempuan dari kelas sosial ekonomi yang lebih rendah. Dan, kelompok etnis minoritas atau daerah yang terpinggirkan sering kali terpinggirkan tidak hanya secara politik dan ekonomi. Tetapi juga secara epistemic, yaitu dalam hal hak mereka untuk berbicara dan didengar. Selain mengekspresikan skeptisisme tentang kemungkinan representasi, pertanyaan “Bisakah subaltern berbicara?” menunjukkan bagaimana struktur wacana patriarki dalam sistem sosial tersebut membungkam suara perempuan. Perempuan yang mendapat pelecehan dengan catcalling sering kali tidak hanya tidak mendapat kesempatan untuk menolak atau berbicara. Tetapi mereka juga mendapat tempat, atau posisi, di mana pengalaman mereka adalah tidak berharga, tidak relevan atau bahkan patut diacungi sebagai pihak yang salah.
Perilaku catcalling merupakan representasi relasi kekuasaan dalam sistem patriarki yang memandang tubuh perempuan sebagai objek konsumsi publik, dan tidak dapat diartikan sebagai gerakan acak atau lelucon pribadi. Perilaku negatif ini sebagian besar dimotivasi oleh upaya untuk menegaskan otoritas sosial dan konsep hegemoni maskulinitas, yang tertanam dalam struktur sosial dan bukan sekadar ketertarikan seksual.
Keyakinan bahwa laki-laki memiliki ruang publik dan bahwa kehadiran perempuan di sana bersifat kontingen dan tunduk pada kritik merupakan dasar dari perilaku ini. Catcalling sebagai alat simbolis dalam situasi ini mengingatkan perempuan akan “batasan tak kasat mata” yang menetap dalam masyarakat patriarki. Dengan kata lain, agensi perempuan atas tubuh dan ruang mereka dikendalikan secara kolektif melalui catcalling.
Hal ini menunjukkan bahwa ruang publik merupakan medan pertempuran kekuasaan diskursif yang menentukan siapa yang dianggap layak hadir dan siapa yang tunduk, bukan situasi yang netral. Oleh karena itu, salah satu manifestasi paling jelas dari dinamika kekuasaan yang tidak sehat antara gender dominan dan subordinat adalah catcalling.
“Tanpa kita sadari, catcalling adalah praktik kekuasaan yang menjelma dalam relasi gender—membungkam suara perempuan subaltern dalam ruang yang semestinya setara.”
Dampak catcalling melampaui sekadar pertukaran verbal tunggal dan terwujud sebagai tekanan psikologis yang terus-menerus dan seringkali tidak terdeteksi. Sebuah studi kualitatif oleh Walisongo menyebutkan orang yang di-catcall biasanya akan merasa takut, cemas, dan kurang percaya diri dengan tubuh mereka. Objektifikasi internal adalah istilah untuk fenomena ini, di mana perempuan mulai memandang tubuh mereka sebagai objek kritikan daripada sebagai komponen dari diri yang mandiri dan lengkap dari sudut pandang maskulin.
Dan dampak jangka panjang dari hal ini dapat mencakup gangguan kecemasan, dan keterbatasan mobilitas sosial (seperti menghindari area publik tertentu). Serta, penurunan keterlibatan perempuan dalam aktivitas publik yang lebih umum. Menurut teori feminis, dampak ini menunjukkan bagaimana kontrol patriarki membatasi kemandirian mental dan sosial perempuan melalui kekerasan simbolik selain kekerasan fisik. Di sisi lain, teori subaltern berpendapat bahwa kebungkaman atau ketidakmampuan korban untuk berbicara dan melawan pelecehan. Inilah yang memperkuat status mereka sebagai subjek yang secara rutin harus bersikap bungkam, baik oleh lembaga, norma sosial, ataupun karena takut akan stigma.
Meskipun sistem sosial patriarki masih memaksa perempuan. Terutama mereka yang berada di posisi subaltern untuk tetap diam, ini tidak selalu berarti bahwa kemungkinan perlawanan telah hilang. Keheningan sering kali merupakan akibat dari kurangnya tempat yang aman untuk berkomunikasi, bukan karena kurangnya kemampuan untuk berbicara. Spivak menyoroti bahwa suara-suara subaltern sering kali terabaikan karena kerangka wacana yang berlaku tidak mengakuinya, bukan karena mereka tidak ada.
Fenomena ini terlihat dalam reaksi beberapa korban catcalling yang memutuskan untuk tidak berbicara. Karena mereka khawatir akan wajib memberi pertanggungjawaban, menerima interogasi, atau bahkan menderita pelecehan sekali lagi setelah melaporkannya. Namun di tengah keheningan ini, bentuk-bentuk perlawanan kolektif telah mulai terbentuk. Inilah yang menggambarkan semangat esensialisme strategis. Seperti ketika perempuan dari berbagai latar belakang secara strategis bersatu untuk mengungkapkan pengalaman yang sama.
Di sejumlah negara, kampanye internet seperti #StopCatcalling telah berhasil menghancurkan sistem kekerasan simbolik di tempat umum dan mendorong terciptanya undang-undang yang melindungi. Misalnya, undang-undang yang mengkriminalisasi pelecehan verbal di tempat umum telah menjadi sah di Filipina, Prancis, dan Peru. Ini menunjukkan bagaimana suara-suara subaltern dapat menantang dominasi ketika mereka terbungkus dalam teknik wacana dan kesatuan. Meskipun tidak terdistribusi secara merata, pertentangan ini memberi harapan bahwa ruang publik dapat pulih sebagai aset bersama yang setara. Dan, bukan tempat di mana satu gender mendominasi yang lain.
Terdapat beberapa tindakan sederhana namun penting ketika mengingat parahnya dampak catcalling dan rumitnya sistem yang memungkinkannya terjadi. Contohnya; seperti menciptakan prosedur pelaporan yang aman dan ramah korban serta mendidik masyarakat melalui pengajaran feminis yang praktis. Namun yang lebih penting, masyarakat harus menghilangkan anggapan kuno yang memungkinkan tubuh perempuan hanya bermanfaat sebagai platform untuk kekuasaan dan kritik. Karena pada akhirnya, ruang publik adalah tempat di mana semua suara. Terutama yang telah lama bungkam, memiliki hak untuk didengar secara setara, dan bukan platform untuk dominasi. Sebuah negara tidak benar-benar bebas, selama perempuan terus hidup dalam ketakutan di jalanan yang merupakan milik semua orang.
Penulis: Raisha Putri, Mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Editor: Patricia