OPINI | TD — Buzzer politik kembali menjadi sorotan di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Di satu sisi, mereka terbukti efektif membangun citra dan memperkuat narasi digital, seperti saat kampanye Pilpres 2024 dengan munculnya fenomena “Prabowo gemoy” yang berhasil menarik simpati pemilih muda. Namun di sisi lain, keberadaan buzzer juga menuai kritik karena dianggap memperlebar polarisasi, menyebarkan misinformasi, dan melemahkan ruang kritik dalam demokrasi. Pertanyaannya: apakah buzzer masih relevan sebagai strategi komunikasi politik, atau justru menjadi ancaman bagi kualitas demokrasi Indonesia?
Fenomena buzzer di Indonesia mulai mencuat sejak Pemilu 2014 dan semakin dominan pada 2019. Saat itu, istilah cyber troops populer sebagai representasi pasukan digital yang berfungsi ganda: memperkuat citra kandidat sekaligus menyerang lawan politik dengan framing dan disinformasi. Menurut peneliti komunikasi digital Merlyna Lim (2017), buzzer adalah senjata propaganda modern. Kini, menariknya, Prabowo yang dulu kerap menjadi sasaran buzzer, justru memanfaatkan mesin digital serupa untuk mendukung kampanye bersama Gibran Rakabuming.
Dalam Pilpres 2024, buzzer memainkan peran sentral. Narasi “Prabowo gemoy” menjadi strategi yang sukses mengubah citra militeristik menjadi ramah dan bersahabat. Lewat meme, TikTok, hingga konten ringan, pesan itu menyasar Gen Z dan milenial, segmen pemilih terbesar di Indonesia. Tidak hanya menyebarkan pesan positif, buzzer juga efektif menenggelamkan isu negatif dengan banjir konten hiburan. Hasilnya, atmosfer digital menjadi arena yang lebih menguntungkan pasangan Prabowo–Gibran.
Pertanyaan muncul: apakah buzzer berhenti setelah kemenangan? Realitas menunjukkan sebaliknya. Mesin buzzer kini dipakai untuk mengangkat narasi positif program pemerintah sekaligus merespons kritik dengan serangan digital. Beberapa oposisi mengaku kerap diserang akun anonim setiap kali melontarkan kritik keras. Pengamat komunikasi politik UI, Ade Armando, mengingatkan: “Buzzer sulit dipisahkan dari politik modern. Tapi ketika fungsinya bergeser dari komunikasi ke intimidasi, di situlah demokrasi bisa runtuh.”
Keberadaan buzzer membawa sejumlah konsekuensi serius:
Indonesia menghadapi dilema besar dalam demokrasi digital. Media sosial bisa menjadi ruang partisipasi politik, namun dominasi buzzer membuat ruang tersebut tidak seimbang. Direktur SAFEnet, Damar Juniarto, menegaskan: literasi digital adalah kunci agar masyarakat mampu membedakan informasi asli dengan propaganda buzzer.
Ada dua langkah mendesak untuk meredam dampak negatif buzzer:
Buzzer politik di era Prabowo adalah fenomena kompleks. Mereka efektif membangun citra, tetapi juga rawan merusak kualitas demokrasi. Kritik Megawati menjadi alarm penting: jika buzzer dibiarkan tanpa kendali, demokrasi bisa terjebak dalam pertunjukan digital penuh manipulasi. Kini, bola ada di tangan Prabowo: apakah ia akan terus bergantung pada buzzer sebagai mesin propaganda, atau memilih jalur komunikasi yang lebih transparan dan sehat bagi demokrasi Indonesia.
Penulis: Mochamad Farhan
Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Untirta. (*)