Aditya Firdaus Ramadhan. (Foto: Dok. Pribadi)OPINI | TD — Perkembangan teknologi digital melaju begitu cepat, menghadirkan beragam ruang baru bagi masyarakat untuk belajar, bekerja, hingga mencari hiburan. Salah satu ruang yang paling diminati generasi muda adalah dunia game online. Dari Mobile Legends, PUBG Mobile, Valorant, Free Fire, hingga Dota 2, game kini tidak hanya menjadi sarana bermain, tetapi juga membuka peluang ekonomi, karier profesional, dan kompetisi internasional.
Namun, di balik euforia ini, ada sisi kelam yang tidak boleh diabaikan: budaya toxic yang semakin marak dan dianggap wajar oleh sebagian pemain muda. Fenomena ini bukan sekadar masalah kecil, melainkan ancaman yang nyata bagi kesehatan mental dan perkembangan karakter generasi digital.
Secara ideal, game diciptakan sebagai ruang rekreasi, pelarian dari stres, dan tempat untuk mengembangkan kreativitas. Namun, realitas di lapangan berkata lain. Interaksi di dalam game kini sering diwarnai dengan kata-kata kasar, hinaan, makian, dan serangan personal terhadap pemain lain, baik lawan maupun rekan setim.
Istilah seperti “noob”, “beban”, “tolol”, hingga caci maki bernuansa SARA menjadi konsumsi sehari-hari. Tidak sedikit pemain remaja mengaku takut masuk mode ranked atau kompetitif karena khawatir menjadi sasaran kemarahan pemain lain. Dunia game yang seharusnya menyenangkan justru berubah menjadi ruang penuh ketegangan psikologis.
Fenomena toxic di dunia game tidak muncul begitu saja. Ada sejumlah faktor yang saling berkaitan:
1. Minimnya Pengawasan dan Sanksi Tegas
Sebagian platform game belum menerapkan sistem moderasi yang efektif. Report system yang lambat atau tidak berdampak membuat perilaku toxic seakan tidak memiliki konsekuensi.
2. Sulit Menerima Kekalahan
Mentalitas kemenangan mutlak—ditambah sifat kompetitif yang berlebihan—membuat sebagian pemain mudah tersulut emosi saat hasil tidak sesuai harapan.
3. Kurangnya Empati dalam Interaksi Virtual
Ketika bersembunyi di balik layar, sebagian orang merasa bebas melakukan apa saja. Akibatnya, etika pergaulan digital sering diabaikan.
4. Normalisasi oleh Lingkungan dan Komunitas
Banyak pemain menganggap toxic sebagai “gaya komunikasi” atau bercandaan. Padahal, normalisasi inilah yang membuat perilaku buruk diwariskan antar generasi gamer.
5. Pengaruh Streamer dan Konten Kreator
Tidak sedikit streamer yang meluapkan emosi secara berlebihan demi konten sensasional. Ironisnya, semakin toxic mereka, semakin ramai penontonnya. Fenomena ini menjadi teladan buruk yang dengan cepat ditiru para pemain muda.
Budaya toxic bukan sekadar masalah komunikasi. Jika dibiarkan, dampaknya dapat meluas ke kehidupan sosial dan karakter pribadi, antara lain:
Menurunkan kesehatan mental karena tekanan sosial dan rasa takut berinteraksi.
Jika dunia game saja sudah menjadi ruang yang keras, bagaimana generasi muda akan berkembang sebagai individu yang sehat secara emosional?
Untuk memutus rantai budaya toxic, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak:
Game seharusnya menjadi ruang untuk belajar strategi, kerja sama, dan ketahanan mental—bukan arena pelampiasan emosi negatif.
Budaya toxic di dunia game bukan hal sepele. Ini adalah cerminan nilai sosial yang terdistorsi di era digital. Jika kita ingin generasi muda tumbuh sebagai pribadi yang kuat, beretika, dan bermental sehat, maka budaya toxic harus dihentikan—dimulai dari kesadaran individu dan ekosistem komunitas gamer itu sendiri.
Game diciptakan untuk menyatukan, bukan memecah. Untuk menghibur, bukan melukai.
Kini saatnya mengembalikan dunia game menjadi ruang yang menyenangkan dan aman bagi semua.
Penulis: Aditya Firdaus Ramadhan
Mahasiswa Prodi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)