Biografi Lengkap Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari: Riwayat Hidup, Pemikiran Tasawuf, dan Karya-Karyanya

waktu baca 4 minutes
Jumat, 14 Nov 2025 21:30 0 Nazwa

SOSOK | TD — Syeikh Tajuddin Abu Fadl Ahmad ibn Muhammad ibn Abdul Karim ibn Abdurrahman ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Isa ibn al-Husain, yang lebih dikenal sebagai Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari, adalah salah satu ulama besar dalam dunia tasawuf dan fikih. Beliau lahir pada tahun 648 H/1250 M di Iskandariyah, Mesir, dan wafat pada Jumadil Akhir 709 H/1309 M di Kairo. Makamnya berada di kawasan Qarafah, sebuah wilayah yang dihuni banyak tokoh suci dan intelektual Muslim Mesir.

Masa Pendidikan dan Perjalanan Intelektual

Kehidupan ilmiah Ibn ‘Atha’illah dapat dibagi dalam tiga fase besar: dua fase awal di Iskandariyah dan fase akhir di Kairo. Pada masa mudanya di Iskandariyah, ia menimba ilmu secara intensif di pusat-pusat keilmuan kota tersebut. Ia mempelajari fikih, ushul fikih, tafsir, hadis, bahasa Arab, mantik, dan ilmu kalam kepada sejumlah ulama terkemuka, seperti Nasir al-Din ibn al-Munir al-Iskandari, al-Mazuni al-Iskandari, serta Syams al-Din al-Asbahani.

Pada fase ini, Ibn ‘Atha’illah lebih condong pada ilmu-ilmu fikih dan belum tertarik pada tasawuf. Ia bahkan bersikap kritis terhadap para sufi karena menganggap di luar fikih tidak ada ilmu lain yang lebih diperlukan.

Pertemuan dengan Abu al-‘Abbas al-Mursi

Perubahan besar dalam hidupnya terjadi ketika ia berjumpa dengan Abu al-‘Abbas al-Mursi, khalifah utama thariqah Syadziliyah. Pertemuan ini bermula dari rasa ingin tahunya terhadap kisah-kisah karamah al-Mursi. Namun setelah mendengarkan penjelasan gurunya tentang hakikat Islam, Iman, dan Ihsan, pintu hatinya terbuka dan ia mulai mengikuti majelis sang sufi besar tersebut.

Sejak itu Ibn ‘Atha’illah menjadi murid setia al-Mursi selama dua belas tahun hingga wafatnya sang guru pada tahun 686 H/1288 M. Ia juga mengambil ilmu langsung dari pendiri Thariqah Syadziliyah, Syeikh Abu al-Hasan as-Syadzili, serta beberapa murid utama lainnya seperti Syeikh Ya’qul al-Arsyi. Pengaruh para tokoh inilah yang membentuk fondasi spiritual dan intelektual Ibn ‘Atha’illah.

Peran di Kairo dan Kiprah Keilmuan

Setelah wafat gurunya, Ibn ‘Atha’illah pindah ke Kairo dan menjadi salah satu ulama besar di Madrasah al-Manshuriyah serta pengajar fikih di Universitas al-Azhar. Ia dihormati sebagai ahli fikih mazhab Malikiyah sekaligus mursyid thariqah Syadziliyah, sebuah kombinasi yang tidak banyak dimiliki sufi pada masanya.

Di Kairo, ia berinteraksi dengan lingkungan istana Mamluk dan menjadi rujukan keilmuan bagi banyak pelajar. Dari rahim tarbiyah dan kajiannya lahir banyak tokoh penting, seperti Imam Taqiyuddin al-Subki, Ahmad bin Idris al-Qarafi, dan Dawud al-Syadzili al-Iskandari.

Pemikiran Tasawuf Ibn ‘Atha’illah

Ibn ‘Atha’illah dikenal sebagai sufi yang menekankan keseimbangan antara syari’at, akhlak, dan dimensi spiritual. Beberapa gagasan pentingnya antara lain:

  • Tidak meninggalkan dunia, tetapi menggunakan nikmat Allah secara sederhana dan penuh syukur tanpa berlebihan ataupun terjerumus dalam kezhaliman.
  • Penegasan syari’at, tasawuf harus berjalan seiring dengan Al-Qur’an dan Sunnah, sebagaimana garis yang ditempuh Imam al-Ghazali.
  • Zuhud sebagai kondisi hati, bukan penghindaran total dari dunia, melainkan membebaskan hati dari perbudakan hawa nafsu.
  • Tidak melarang kekayaan, selama hati tidak terkait kepada harta dan tidak lalai dari Allah.
  • Menjembatani urusan dunia dan spiritualitas, menolak sikap pasif dan mendorong kebermanfaatan sosial.
  • Tasawuf sebagai latihan jiwa, yang mencakup pengendalian diri, akhlak, ibadah, dan mujahadah.
  • Ma’rifat sebagai tujuan puncak, dapat dicapai melalui anugerah Tuhan (mawahib) atau usaha spiritual yang sungguh-sungguh (makasib).

Pemikiran-pemikiran tersebut menjelaskan mengapa tasawuf Ibn ‘Atha’illah tidak terjebak dalam spekulasi filsafat, tetapi berpijak pada pengalaman spiritual, syari’at, dan etika.

Karya-Karya Utama

Warisan intelektual Ibn ‘Atha’illah sangat kaya dan berpengaruh luas. Karya-karyanya mencakup biografi, fikih, tasawuf, dzikir, doa, hingga syarah qasidah. Di antara karya terpentingnya ialah:

1. Al-Hikam al-‘Ataiyyah

Karyanya yang paling terkenal, berisi aforisme rohani yang sangat mendalam. Kitab ini menjadi rujukan utama di dunia tasawuf dan dipelajari di seluruh dunia Islam hingga kini, termasuk pesantren-pesantren Nusantara.

2. Lathaif al-Minan

Berisi biografi dua gurunya, Abu al-Hasan as-Syadzili dan Abu al-‘Abbas al-Mursi, serta kisah-kisah hikmah dan amalan dzikir thariqah Syadziliyah.

3. At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir

Pembahasan mendalam tentang tawakal dan kepasrahan total kepada Allah SWT.

4. Taj al-‘Arus wa Uns an-Nufus

Koleksi hikmah ringkas tentang akhlak dan penyakit hati beserta cara mengobatinya.

5. Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah

Menjelaskan pentingnya dzikir, adabnya, serta keutamaannya.

6. Al-Qaul al-Mujarrad fi al-Ism al-Mufrad

Pembahasan tentang nama dan sifat Allah, beserta manfaat dzikir.

7. Unwan at-Taufiq fi Adab at-Tariq

Syarah qasidah mengenai etika dalam perjalanan tasawuf dan pembinaan diri.

Selain itu ia menulis risalah-risalah pendek, kalam hikmah yang disebut al-Hikam Shughra, serta kumpulan doa berjudul al-Munajat al-Ilahiyah.

Penutup

Syeikh Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari adalah ulama yang berhasil menyatukan kecemerlangan fikih dan kedalaman tasawuf. Pemikirannya menjadi jembatan penting antara syari’at dan hakikat, antara dunia dan spiritualitas. Hingga kini, karya dan ajaran beliau tetap hidup, memengaruhi jutaan murid dan pembaca di seluruh dunia Islam.

Referensi: Materi kajian Al Hikam, Pondok Pesantren Azzainiyyah, Sukabumi. (*)

LAINNYA