BBM dan Gejolak Sosial: Mengapa Kenaikan Harga Selalu Picu Protes?

waktu baca 3 minutes
Sabtu, 4 Okt 2025 08:46 0 Nazwa

OPINI | TD — Setiap kali harga Bahan Bakar Minyak (BBM) naik, gelombang protes hampir selalu muncul di berbagai daerah. Fenomena ini menegaskan bahwa BBM bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga simbol keadilan sosial dan tolok ukur kepercayaan publik terhadap pemerintah. Dari sejarah reformasi 1998 hingga kini, kebijakan harga BBM terbukti menjadi pemicu utama keresahan sosial sekaligus isu politik yang sensitif.

BBM Sebagai Simbol Keadilan Sosial

BBM memiliki posisi unik dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Ia bukan sekadar energi penggerak kendaraan dan mesin, melainkan juga tulang punggung perekonomian. Bagi rakyat, harga BBM mencerminkan sejauh mana pemerintah berpihak pada kesejahteraan mereka. Tidak heran, kenaikan harga selalu direspons dengan aksi massa, terutama dari mahasiswa, buruh, dan kelompok masyarakat sipil.

Efek Domino dalam Kehidupan Ekonomi

Kenaikan harga BBM selalu membawa efek domino. Biaya transportasi melonjak, ongkos logistik bertambah, harga kebutuhan pokok naik, dan daya beli masyarakat menurun.

Kenaikan Pertalite pada September 2022, dari Rp7.650 menjadi Rp10.000 per liter, menjadi contoh nyata. Tarif ojek online meningkat, harga beras dan minyak goreng ikut naik, sementara pendapatan masyarakat tidak berubah. Akibatnya, pedagang kecil merugi dan kelompok miskin semakin terpuruk. Ketimpangan inilah yang membuat keresahan sosial mudah tersulut.

Dimensi Politik dan Stabilitas

Harga BBM sering dijadikan ukuran dukungan publik terhadap pemerintah. Setiap kebijakan kenaikan dipersepsikan sebagai bukti pemerintah abai pada rakyat kecil. Oposisi pun kerap memanfaatkan isu ini untuk menyerang penguasa, sementara media memperbesar keresahan dengan liputan intensif. Tidak jarang, isu BBM bahkan ikut memengaruhi elektabilitas partai politik menjelang pemilu.

Faktor Global dan Beban Fiskal

Kebijakan harga BBM di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari faktor global: fluktuasi harga minyak dunia, ketegangan geopolitik, hingga pelemahan rupiah. Di sisi lain, subsidi energi menjadi beban berat APBN. Tahun 2022, subsidi dan kompensasi energi mencapai lebih dari Rp500 triliun, sehingga mengurangi ruang fiskal untuk sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan.

Dilema pun muncul: pemerintah harus memilih antara menjaga stabilitas sosial atau stabilitas fiskal.

Rekomendasi Kebijakan

Untuk keluar dari lingkaran masalah BBM, pemerintah perlu mengubah pendekatan jangka pendek menjadi strategi berkelanjutan:

  • Perkuat transportasi umum yang terjangkau dan nyaman agar masyarakat tidak terlalu bergantung pada kendaraan pribadi.
  • Percepat transisi energi terbarukan seperti listrik dan biofuel untuk mengurangi ketergantungan pada minyak.
  • Perbaiki mekanisme subsidi dengan teknologi digital agar tepat sasaran hanya bagi masyarakat miskin.
  • Tingkatkan transparansi komunikasi publik agar masyarakat memahami alasan kebijakan, termasuk faktor global yang berpengaruh.

Refleksi Mahasiswa

Sebagai mahasiswa, saya melihat isu BBM bukan sekadar teknis ekonomi, melainkan bagian dari kontrak sosial antara negara dan rakyat. Mahasiswa memiliki peran penting: mengkritisi, menawarkan solusi, dan mengingatkan pemerintah agar kebijakan benar-benar berpihak pada rakyat.

Penutup

BBM adalah indikator keresahan sosial di Indonesia. Selama ketergantungan pada bahan bakar tinggi dan energi alternatif belum merata, isu ini akan terus memicu potensi protes. Namun, dengan strategi jangka panjang yang adil dan transparan, kebijakan BBM justru bisa menjadi peluang memperkuat keadilan sosial sekaligus mendorong kemandirian energi nasional.

Penulis: Mamluatul Munawaroh, Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, UNTIRTA. (*)

LAINNYA