OPINI | TD — Indonesia, sebagai negara demokrasi, sedang menghadapi tantangan serius. Bukan dari kekuatan asing, melainkan dari ancaman yang lebih berbahaya: politik dinasti. Praktik mewariskan kekuasaan dalam lingkaran keluarga bukan sekadar soal etika, tetapi merupakan serangan langsung terhadap fondasi demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah. Opini ini akan mengungkap bahaya laten tersebut dan mendesak perlunya perlawanan kolektif untuk melindungi sistem demokrasi Indonesia.
Politik dinasti, meskipun terbungkus dalam wujud dukungan keluarga atau “kedekatan,” sejatinya adalah pengekangan terhadap prinsip-prinsip dasar demokrasi. Prinsip meritokrasi, di mana kemampuan dan keahlian menjadi kriteria utama dalam pencapaian jabatan, terkikis. Keterbatasan pilihan bagi rakyat semakin terasa nyata. Sebaliknya, kekuasaan terkonsentrasi dalam lingkaran tertentu, menciptakan ketidakadilan dan mengurangi kesempatan bagi individu berbakat yang berasal dari latar belakang berbeda. Ini bukan sekadar nepotisme, tetapi merupakan sistem yang secara sistematis meredupkan cahaya demokrasi. Lebih parah lagi, politik dinasti dapat mengikis kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan, menumbuhkan ketidakpercayaan dan apatisme terhadap proses demokratis.
Fenomena politik dinasti di Indonesia bukanlah cerita khayalan. Kita telah menyaksikan praktik ini dalam beberapa kasus nyata. Contoh kongkret dapat dilihat dalam penunjukan anggota keluarga ke posisi strategis di pemerintahan. Misalnya, penggunaan pengaruh kekuasaan oleh keluarga tertentu untuk menempatkan kerabat mereka dalam jabatan penting, menunjukkan jelas kurangnya transparansi dan meritokrasi.
Peristiwa terkini memperlihatkan betapa dekatnya praktik politik dinasti dengan kekuasaan. Pencalonan putra pertama Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming, sebagai calon wakil presiden, di tengah perdebatan batas usia, menjadi contoh mencolok. Terlepas dari argumentasi hukum, pencalonan ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang keadilan dan keseimbangan dalam sistem politik. Pola serupa terlihat dengan pencalonan-pencalonan lain anggota keluarga di berbagai jabatan publik. Penggunaan jabatan dan pengaruh untuk menguntungkan anggota keluarga ini menimbulkan kekhawatiran akan melemahnya prinsip meritokrasi dan memarginalkan individu-individu berbakat di luar lingkaran keluarga.
Praktik ini, jika dibiarkan, akan menghasilkan akumulasi kekuasaan di tangan segelintir elit. Hal ini secara signifikan melemahkan pengawasan publik dan menumbuhkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Dampak jangka panjangnya bisa sangat berbahaya, mengikis kepercayaan publik terhadap proses demokrasi, dan berpotensi memicu ketidakstabilan politik.
Mempertahankan demokrasi dari ancaman politik dinasti bukanlah tugas pemerintah semata. Ini adalah tanggung jawab kolektif seluruh lapisan masyarakat. Strategi perlawanan perlu diarahkan pada beberapa hal krusial:
Penguatan Regulasi: Membangun regulasi yang lebih tegas dan transparan terkait pencalonan dan perekrutan pejabat publik, dengan sanksi yang jelas dan proporsional bagi pelanggaran yang merugikan proses demokrasi.
Pendidikan Politik: Meningkatkan pemahaman publik tentang pentingnya demokrasi partisipatif dan bahaya politik dinasti. Pendidikan politik yang kritis dan berkelanjutan akan melahirkan generasi yang sadar akan hak-haknya dan berani memperjuangkan prinsip-prinsip demokrasi.
Kemampuan Pengawasan: Meningkatkan kapasitas pengawasan masyarakat sipil dan media dalam mengawasi praktik politik dan mencegah intervensi keluarga berpengaruh.
Politik dinasti merupakan ancaman serius terhadap fondasi demokrasi Indonesia. Praktik ini tidak hanya soal etika, melainkan isu fundamental yang perlu segera diatasi. Dengan membangun perlawanan kolektif dan mengimplementasikan strategi yang terarah, kita dapat menjaga demokrasi Indonesia tetap utuh dan berkelanjutan.
Penulis: Nayla Nur Faiza, Mahasiswa Pengantar Ilmu Politik, Prodi Komunikasi, FISIP UNTIRTA. (*)