Bahasa Gaul di Kalangan Gen Z: Tantangan atau Evolusi dalam Lingkungan Akademik?

waktu baca 4 minutes
Sabtu, 13 Des 2025 16:52 0 Nazwa

OPINI | TD – “Bestie, lo udah submit tugas belum? Kicep banget gue, deadline besok, vibes-nya udah nggak beres nih.”
Kalimat semacam ini bukan lagi hal asing di telinga siswa dan mahasiswa masa kini. Ia hidup di grup WhatsApp kelas, kolom komentar media sosial, ruang diskusi daring, hingga percakapan sehari-hari di lingkungan kampus. Bahasa gaul telah menjelma menjadi bahasa keseharian Generasi Z—generasi yang tumbuh bersamaan dengan laju teknologi digital, media sosial, dan budaya serba cepat.

Namun, persoalan muncul ketika bahasa yang lahir dari ruang santai itu mulai menyusup ke wilayah akademik—ruang yang selama ini menjunjung tinggi ketepatan diksi, struktur kalimat, dan standar kebahasaan yang baku. Dari sinilah perdebatan mengemuka: apakah dominasi bahasa gaul merupakan ancaman bagi kualitas bahasa Indonesia di dunia akademik, atau justru bentuk evolusi bahasa yang tak terelakkan?

Bahasa Gaul: Identitas, Kedekatan, dan Kreativitas

Bahasa gaul tidak lahir dari kehampaan. Ia muncul sebagai respons atas kebutuhan komunikasi yang cepat, ringkas, dan kontekstual. Istilah seperti healing, insecure, FOMO, spill, awkward, recap, gercep, salty, ngab, mager, hingga gaskeun dengan mudah menyebar melalui TikTok, Instagram, dan X (Twitter). Kosakata tersebut kerap dianggap lebih “jujur” dan representatif dalam menggambarkan emosi, kondisi psikologis, maupun situasi sosial yang sulit dijelaskan dengan bahasa formal.

Lebih dari sekadar alat komunikasi, bahasa gaul juga berfungsi sebagai penanda identitas. Menguasai kosakata tertentu berarti menjadi bagian dari kelompok tertentu. Dalam kajian sosiolinguistik, fenomena ini dikenal sebagai marker of solidarity —bahasa yang menegaskan rasa kebersamaan dan kedekatan emosional antarpenuturnya.

Di sisi lain, maraknya bahasa gaul menunjukkan kreativitas linguistik Generasi Z. Mereka tidak sekadar menggunakan bahasa, tetapi turut membentuk dan mengembangkannya. Bahasa Indonesia sendiri lahir dari proses panjang: percampuran dialek lokal, kosakata serapan, dan perubahan sosial. Bahasa yang berhenti berkembang justru berisiko kehilangan relevansinya.

Dari sudut pandang ini, bahasa gaul dapat dibaca sebagai bagian dari evolusi linguistik—sebuah proses alamiah yang menandakan bahasa masih hidup dan digunakan.

Ketika Bahasa Gaul Menabrak Etika Akademik

Meski demikian, romantisasi bahasa gaul tidak boleh menutup mata terhadap tantangan nyata di lingkungan akademik. Sejumlah dosen dan pendidik mulai menemukan bahasa gaul menyusup ke laporan ilmiah, proposal penelitian, hingga korespondensi resmi. Kalimat seperti:

  • “Menurut gue, pandemi bikin siswa jadi insecure sama nilai mereka.”
  • “Data ini vibes-nya kurang sinkron sama tabel berikutnya.”
  • “Peneliti perlu healing sebelum melanjutkan bab pembahasan.”

bukan lagi sekadar contoh ekstrem, melainkan fenomena yang benar-benar terjadi.

Masalah utama di sini bukan pada kata-katanya, melainkan pada ketidakmampuan membedakan konteks bahasa. Ketika register formal dan nonformal bercampur tanpa kendali, yang terancam bukan hanya kaidah bahasa, tetapi juga ketajaman berpikir. Bahasa akademik menuntut kejelasan, objektivitas, dan presisi—hal-hal yang sulit dicapai jika diksi dipilih berdasarkan tren, bukan makna.

Lebih jauh, kemampuan berbahasa formal bukan hanya kebutuhan akademik, tetapi juga modal profesional. Di dunia kerja, cara seseorang menulis laporan, menyusun proposal, atau berkomunikasi secara resmi sering kali menjadi indikator kompetensi dan kredibilitas.

Dengan demikian, tantangan sesungguhnya bukanlah keberadaan bahasa gaul, melainkan absennya kontrol dan kesadaran dalam penggunaannya.

Bijak Berbahasa: Menemukan Titik Tengah

Alih-alih melarang bahasa gaul secara total, pendekatan yang lebih realistis adalah membekali generasi muda dengan kemampuan memilih bahasa sesuai konteks. Dalam linguistik, kemampuan ini dikenal sebagai code switching—kecakapan berpindah gaya bahasa berdasarkan situasi dan lawan bicara.

Seseorang dapat berkata,
“Bro, gabut banget gue hari ini,” saat berbincang santai,
namun menulis,
“Peneliti mengalami keterbatasan waktu dalam proses pengumpulan data,”
ketika menyusun makalah ilmiah.

Kemampuan semacam ini justru mencerminkan kecerdasan berbahasa dan kedewasaan berpikir.

Di sinilah peran sekolah dan perguruan tinggi menjadi krusial. Bahasa gaul tidak perlu distigma sebagai musuh akademik, melainkan dijadikan pintu masuk untuk edukasi kebahasaan. Pendidik dapat membuka ruang diskusi tentang fenomena bahasa, menegaskan perbedaan konteks formal dan nonformal, serta membiasakan latihan menulis akademik secara konsisten. Pendekatan edukatif semacam ini jauh lebih efektif daripada larangan kaku yang justru berpotensi memicu resistensi.

Penutup

Pada akhirnya, bahasa gaul di kalangan Generasi Z adalah tantangan sekaligus evolusi. Ia dapat menjadi ancaman jika digunakan tanpa kendali, tetapi juga dapat menjadi kekayaan linguistik jika dipahami dan ditempatkan secara tepat. Kuncinya terletak pada kesadaran konteks: santai pada ruang yang santai, dan formal pada ruang yang menuntut profesionalisme.

Sebagai generasi terdidik, kemampuan kita bukan diukur dari seberapa gaul kita berbicara, melainkan dari seberapa bijak kita memilih bahasa. Sebab bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan cermin cara berpikir, bersikap, dan memposisikan diri di tengah masyarakat.

Penulis: Ananda Bunga Rossiana
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

LAINNYA