KESEHATAN | TD – Seseorang yang mempunyai trauma karena pernah mengalami kejadian buruk bisa saja memberikan respon berlebihan. Misalnya seseorang yang pernah tenggelam di air, dapat menjerit ketakutan jika melihat air di kolam renang. Atau seseorang yang pernah mengalami pelecehan seksual akan merasa ketakutan bila diajak bicara lawan jenis.
Respon yang berlebihan dari seseorang yang memiliki trauma tersebut, selain rasa ketakutan atau berteriak, tidak jarang juga disertai detak jantung yang semakin cepat atau mengucurnya keringat dingin di sekujur tubuh.
Ivan Pavlov, ahli saraf dan fisiologi dari Rusia yang hidup pada awal abad ke-20, pernah melakukan eksperimen tentang pengalaman dan pembelajaran yang dapat ditarik benang merahnya dengan respon berlebihan dari seseorang yang mempunyai trauma.
Pavlov, dalam penelitian eksperimentalnya, mencoba menggali apa yang dilakukan seekor anjing bila ia membunyikan bel di saat akan memberikannya makanan.
Pavlov yang melakukan eksperimen tersebut setiap hari menemukan bahwa anjingnya memproduksi liur setelah mendengar bunyi bel, bahkan saat ia tidak memberikan makanan di kemudian hari.
Pavlov kemudian mencoba membunyikan bel setiap hari tanpa menyiapkan makanan untuk anjingnya. Akhirnya, anjing tersebut perlahan menyesuaikan diri dengan tidak lagi memproduksi air liur.
Dari penelitian Pavlov tersebut dapat disimpulkan bahwa tubuh akan merespon secara otomatis terhadap sesuatu yang berulang kali terjadi. Begitu juga dengan asal trauma.
Dan dalam menyembuhkan trauma, si penderita justru harus berhadapan dengan hal yang menjadikan ia trauma terus menerus. Misalnya seseorang yang trauma dengan air justru harus berada dekat dengan air setiap hari.
Dalam membantu penyembuhan trauma tersebut, juga diperlukan bantuan dari teman-teman si penderita atau dari tenaga medis, agar proses penyembuhan dapat berhasil. (Pat)