Arthur Rimbaud, Sang Bintang Jatuh dalam Sastra Perancis

waktu baca 6 menit
Senin, 30 Des 2024 14:53 0 175 Patricia Pawestri

TOKOH SASTRA | TD – “Pemberontak”. Mungkin itulah yang kita pikirkan jika mendengar nama Arthur Rimbaud. Penyair asal Perancis yang hidup selama 1854 hingga 1891 ini memang terkenal dengan karya-karyanya yang menantang norma-norma sosial di zamannya.

Hidup Arthur Rimbaud yang tak lazim seringkali membuat orang berpikir bahwa ia tak memiliki moral dan sangat sulit dipahami. Namun, keindahan dalam puisi-puisinya atas hidup dan pemberontakannya menjadikannya salah satu penyair paling dikagumi hingga di masa sekarang.

Para sastrawan besar pada zaman Arthur Rimbaud pun menempatkan namanya sebagai pelopor dalam sastra baru (avant garde) aliran simbolisme, surealisme, dan juga dadaisme.

Di antaranya karya-karyanya, dua yang paling terkenal adalah “Une Saison en Enfer” (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Semusim di Neraka”) dan “Illuminations“.

Dalam “Semusim di Neraka”, puisi-puisi Arthur Rimbaud menceritakan tentang pengalaman hidupnya ketika berkelana ke negeri-negeri jauh. Puisi-puisi tersebut sarat dengan tema penderitaan, pencarian identitas, dan juga pemberontakan.

Gaya bahasa Rimbaud sangat indah, termasuk ketika melukiskan keindahan alam yang menjadi lanskap-lanskap dalam puisinya. Misalnya ia melukiskan dalam puisinya bahwa keindahan matahari yang menyatu dengan lautan telah menghadirkan kembali keabadian yang pernah hilang.

Arthur Rimbaud terkenal cemerlang dalam pendidikannya sejak masa kanak-kanak. Namun, mengapa akhirnya ia memilih jalan yang menyengsarakan demi menjadi penyair? Untuk memahaminya, penulis menyusun riwayat hidup Arthur Rimbaud secara singkat.

Riwayat Hidup Arthur Rimbaud

Rimbaud lahir dengan nama Jean Nicolas Arthur Rimbaud pada 20 Oktober 1854 di Charleville, sebuah kota provinsi di negara Perancis. Ia adalah anak kedua dari lima bersaudara yang lahir dari pasangan Rimbaud dan Vitalie.

Kemalangan dalam keluarga masa kecil Rimbaud adalah karena ayahnya yang jarang pulang karena bertugas sebagai tentara militer. Dan, pada usia 6 tahun, Rimbaud kecil benar-benar kehilangan sang ayah yang memutuskan untuk tak lagi berhubungan dengan keluarganya. Akhirnya, Nyonya Vitalie membesarkan ketiga anaknya yang masih hidup dengan penuh pengabdian dan disiplin yang tinggi.

Dalam pengawasan Vitalie, Arthur Rimbaud menjadi dekat dengan sastra Latin dan juga pandai berbahasa Yunani. Ibunya berharap dengan kemampuan berbahasa, nantinya Rimbaud akan mudah mencari pekerjaan. Kedalaman pengetahuan Rimbaud akan versifikasi (penyusunan larik-larik puisi) juga berasal dari sini. Termasuk dari hukuman-hukuman dari ibunya untuk menghafal seratus baris puisi Latin jika Rimbaud melakukan kesalahan.

Namun penolakan Rimbaud akan banyak hal yang menjadi tatanan umum pada saat itu sudah terasa saat ia berusia 9 tahun. Saat itu, ia menulis esai sepanjang 700 kata yang berisi ketidaksetujuannya akan kewajiban para murid mempelajari bahasa Latin.

Kejeniusan Arthur Rimbaud akan bahasa dan puisi mendapat dukungan dari gurunya, Pastor Ariste Lheritier. “Les Etrennes des Orphelins“, atau diterjemahkan menjadi “Hadiah Tahun Baru untuk Anak Yatim” dipublikasikan pada tahun 1869. Saat itu, Rimbaud berusia 15 tahun. Dari fokus pembelajarannya dengan Pastor Ariste, Rimbaud kemudian beralih kepada guru retorikanya, Georges Izambard. Kepada Izambard, Rimbaud bersikap seperti sahabat dan seorang adik.

Di balik kehidupan yang mapan dan masih terlihat saleh di mata seluruh koleganya, sebenarnya Rimbaud memendam keinginan untuk memberontak dan mencari sendiri kebenaran jati diri dan makna atas kehidupan. Kegelisahannya sebagai anak muda yang cerdas inilah yang akhirnya mendorongnya untuk mencari pengalaman ekstrem dengan membuang norma-norma moral dan juga sosial. Rimbaud pun menggemari minum hingga mabuk dan menjalin hubungan sejenis dengan mitra penulisnya, Paul Verlaine. Ia juga sering mencuri, terutama buku-buku di toko.

Keputusannya menjalani hidup yang tak lazim tersebut tertera dalam “Lettre du Voyant” (“Surat Sang Pelihat”) yang ditulisnya pada Mei 1871. Surat ini berisi pandangan Arthur Rimbaud tentang dirinya, puisi, dan peran penyair. “Surat Sang Pelihat” ditujukan, pertama, kepada Georges Izambard, gurunya sekaligus orang yang memperkenalkannya pada Paul Verlaine. Serta kepada Paul Demeny, seorang penyair dan penerbit yang ikut mendukung kepenyairan Arthur Rimbaud.

Dalam surat tersebut, Rimbaud menjelaskan bahwa penyair haruslah mengalami dan memahami segala pengalaman manusia sekaligus pengacauan indra. Termasuk melalui hal-hal yang paling gelap dan menyakitkan, baik dalam cinta, penderitaan, dan juga kegilaan. Rimbaud juga menyampaikan konsep filosofi “Aku adalah orang lain” (“Je est un autre“) yang dapat mengantarkan penyair pada visi puitis yang sebenarnya.

Arthur Rimbaud, dengan perilaku hidup, pemikiran dan karyanya memang sukar dipahami orang pada umumnya. Dan, karena sering bertindak terlalu jauh, Rimbaud pun seringkali mendapat penolakan dari masyarakat. Karenanya, Rimbaud pun pergi ke London dan Brussel, tetapi selalu kembali ke Perancis.

Arthur Rimbaud, pada akhirnya, merasa gagal dalam usahanya sebagai penyair. Dan ia memutuskan meninggalkan jalan kepenyairannya pada tahun 1875, setelah ia menyerahkan manuskrip “Illuminations” pada Paul Verlaine di Stuttgart, Jerman. Di sini, ia juga berpisah yang terakhir kalinya dengan kekasihnya tersebut.

Kemudian, ia mendaftar menjadi anggota angkatan darat Belanda dan berlayar ke Indonesia (atau Hindia Timur pada saat itu). Tidak betah berlama-lama di Indonesia, Rimbaud secara ilegal kembali ke Perancis. Kemudian ia melanjutkan petualangannya ke Siprus, Yaman, dan akhirnya ke Ethiopia. Di Ethiopia ia bertahan lama dan berhasil berbisnis kopi serta senjata. Ia juga menjadi sahabat penguasa di sana.

Kemalangan yang menandai akhir hidup Rimbaud datang pada usianya yang ke-37. Saat itu ia tinggal di Aden, Yaman. Peradangan pada lutut kanannya ternyata merupakan gejala tumor. Ia pun kembali ke Perancis dan dirawat oleh saudarinya, Isabelle. Kaki Rimbaud kemudian diamputasi. Namun, penghilangan organ ini ternyata tak membawa kesembuhan. Hingga, pada 10 November pada tahun tersebut, Rimbaud menerima upacara pemakamannya.

Kepenyairan Arthur Rimbaud yang Singkat Namun Cemerlang

Arthur Rimbaud menjalani kepenyairannya hanya dalam waktu yang relatif pendek. Yakni dari usia 15 tahun hingga 21 tahun. Meskipun demikian, pengaruhnya sangat besar. Ia mendapat julukan “bintang jatuh” dalam sastra Perancis karena kecemerlangannya.

Dalam kepenyairannya, Rimbaud sangat fasih dalam menerapkan metrikulasi seperti terdapat pada puisi-puisi klasik. Namun, pada akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan gaya tersebut dan memilih gaya bebas dengan rima yang longgar. Rimbaud sangat pandai dalam meracik imaji dalam tema-tema yang tergolong surealisme dan juga visioner.

Salah satu puisi dalam kumpulan puisi Semusim di Neraka, yakni “Alchimie du Verbe”, merupakan salah satu contoh inovasi Arthur Rimbaud dalam berpuisi. Ia cenderung menggunakan metafora yang kuat dan juga surealis. Selain itu, terdapat eksperimen untuk memberikan warna pada vokal. Misalnya “a noir“, “o bleu“, “e blanc“, dan “u vert” yang merupakan majas sinestesia simbolik.

Beberapa penyair disebut mempengaruhi pemikiran dan gaya berpuisi Arthur Rimbaud. Di antaranya Victor Hugo, Jules Laforgue, dan Charles Baudelaire. Ia juga sempat mengikuti aliran sastra bergaya Parnassian, di mana penyair Theophile Gautier dan filsuf Schopenhauer menjadi tokohnya.

Pengaruh kesusastraan Arthur Rimbaud semakin kukuh dengan beberapa penulis besar yang membahas tentangnya. Di antaranya Andre Breton, Roland Barthes, dan Jean Paul Sartre dalam buku-buku mereka.

Demikian riwayat singkat Arthur Rimbaud serta kecemerlangannya sebagai penyair yang selalu dikenang kembali. (Pat)

 

 

 

 

LAINNYA