OPINI | TD — Pengesahan APBN 2026 oleh DPR RI menandai langkah penting dalam perjalanan pembangunan nasional. Dengan total anggaran mencapai Rp3.842,7 triliun, keputusan ini bukan sekadar “ketok palu” administratif, melainkan cermin arah kebijakan ekonomi dan politik Indonesia menuju visi besar: Indonesia Emas 2045. Namun, di balik angka-angka fantastis ini, muncul pertanyaan besar: apakah anggaran sebesar ini mampu menjawab tantangan nyata rakyat?
Pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 pada Sidang Paripurna DPR RI tanggal 31 Oktober 2024 merupakan hasil dari proses yang panjang dan kompleks. Sejak disampaikan oleh Presiden pada Agustus 2024, pembahasan melibatkan berbagai aktor: Badan Anggaran (Banggar) DPR, kementerian teknis, serta lembaga seperti BPS dan Bank Indonesia.
Asumsi dasar yang digunakan—pertumbuhan ekonomi 5,2%, inflasi 2,5% ±1%, nilai tukar Rp16.300 per dolar AS, dan defisit anggaran 2,53% dari PDB—mengindikasikan optimisme pemerintah terhadap kondisi ekonomi ke depan.
Namun, tidak semua fraksi di DPR sepakat secara mutlak. Beberapa, seperti PDI-P dan Gerindra, mengkritik potensi pemborosan dan praktik korupsi jika alokasi tidak diawasi secara ketat. Meski akhirnya disetujui, prosesnya melalui negosiasi alot, terutama terkait isu subsidi energi sebesar Rp502,5 triliun, yang dianggap krusial untuk menjaga daya beli masyarakat.
Anggaran belanja negara sebesar Rp3.613,8 triliun dialokasikan untuk tiga pos utama:
Fokusnya diarahkan pada delapan prioritas dalam RPJMN 2025–2029, antara lain pendidikan, kesehatan, infrastruktur, ketahanan pangan, ekonomi hijau, dan hilirisasi SDA.
Beberapa alokasi penting antara lain:
Subsidi tetap dipertahankan, tetapi dengan dorongan rasionalisasi, agar tidak membebani APBN secara jangka panjang. Hal ini mencerminkan keseimbangan antara perlindungan sosial dan disiplin fiskal.
APBN 2026 berpotensi menjadi katalisator penting bagi pertumbuhan dan stabilitas nasional. Proyeksi PDB mencapai Rp23.000 triliun menjadi sinyal pemulihan pasca-resesi global. Bagi pelaku usaha, alokasi infrastruktur membuka ruang investasi, sedangkan anggaran bantuan sosial Rp500 triliun diharapkan menurunkan tingkat kemiskinan menjadi 7,5%.
Namun, tantangan serius tetap membayangi:
Ini menjadi kritik tajam terhadap kebijakan fiskal yang masih didominasi pendekatan konvensional, belum cukup berpihak pada transisi energi, inovasi hijau, atau penguatan ekonomi digital.
APBN seharusnya tidak dipandang hanya sebagai kumpulan angka. Ia adalah refleksi politik anggaran yang menyentuh hidup masyarakat secara langsung. Di sinilah pentingnya demokrasi fiskal—di mana DPR sebagai wakil rakyat tidak hanya menyetujui anggaran, tetapi juga mengawasi pelaksanaannya secara ketat dan transparan.
Bagi generasi muda, khususnya mahasiswa, APBN 2026 adalah kesempatan untuk mengawal masa depan bangsa. Mendorong partisipasi publik dalam perencanaan dan pengawasan anggaran bisa menjadi kunci untuk mencegah penyimpangan.
Pengesahan APBN 2026 senilai Rp3.842,7 triliun adalah tonggak penting dalam perjalanan pembangunan Indonesia. Namun, apakah ini benar-benar menjadi jembatan menuju kesejahteraan rakyat, atau sekadar formalitas politik, akan ditentukan oleh pelaksanaannya.
Di tengah dinamika politik 2025 dan tekanan global, tantangan transparansi, efisiensi, serta responsivitas terhadap kebutuhan masyarakat harus menjadi fokus utama. Jika dijalankan dengan komitmen tinggi, anggaran ini bukan hanya mendekatkan kita pada visi Indonesia Emas 2045, tetapi juga memperkuat kepercayaan rakyat terhadap institusi demokrasi.
Penulis: Raysyah Diyatu Shifa
Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)